Javier Saviola (kanan) mempertahankan bola saat pertandingan Liga Champion antara Real Madrid dan Zenit St. Petersburg's di Stadion Santiago Bernabeu, Spanyol, (11/12) dini hari. Madrid menang 3-0 sekaligus lolos ke babak 16 besar. AP Photo/Victor R.
TEMPO.CO, Rusia - Para suporter kampiun Liga Rusia, Zenit Saint Petersburg, mendesak pihak klub untuk mengeluarkan pemain yang tidak berkulit putih dan gay. Hal berbau rasialisme ini pastinya akan mempersulit langkah Rusia dalam pencalonan tuan rumah Piala Dunia 2018.
Senin waktu setempat, 17 Desember 2012, Landscrona, pendukung terbesar Zenit, mengeluarkan sebuah manifesto yang meminta klubnya untuk tidak lagi memainkan atau membeli pemain berkulit hitam dan homoseksual. Mereka pun membantah jika aksi ini disebut rasialisme.
"Kami tidak rasialisme. Namun ketiadaan pemain berkulit hitam di Zenit adalah tradisi yang penting," demikian pernyataan resmi itu. "Kami hanya ingin pemain dari negara persaudaraan lain, seperti Ukraina dan Belarus. Sebab, kami punya mentalitas dan latar belakang yang sama."
Landscrona menyatakan kehadiran para pemain kulit hitam di Zenit hanya akan memberikan reaksi negatif. Adapun dengan pemain homoseksual, mereka melanjutkan, para pemain gay tidak layak bermain di klub berjulukan Sine-Belo-Golubye atau Biru-Putih-Biru terang ini.
Zenit pun berusaha dengan cepat untuk menghindari manifesto itu. Pelatih Zenit, Luciano Spaletti, mengatakan, toleransi adalah kemampuan untuk memahami dan menerima perbedaan. "Karena toleransi membawa Anda melawan kebodohan," tutur pria asal Italia ini.
Zenit merupakan satu-satunya klub di Rusia yang tidak pernah merekrut pemain kulit hitam, sebelum bergabungnya Hulk dan Axet Witsel pada musim panas tahun ini. Gelandang internasional Prancis, Yan M'Villa, batal bergabung ke Zenit lantaran menerima ancaman kematian.
Sedangkan Rusia sendiri kini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi penyelenggara Piala Dunia 2018. Negara yang terletak di Eropa Timur ini pun sudah memilih 11 kota dan akan menyiapkan 12 stadion untuk pesta sepak bola terakbar di dunia itu. Semua rencana bisa dipastikan gagal bila Rusia tak mampu mengatasi masalah rasialisme.