TEMPO.CO, Bandung - Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) La Nyalla Matalitti mengatakan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi hanya berbasa-basi saat bersalaman dengannya dalam pembukaan Piala Presiden di Stadion Kapten Dipta, Gianyar, Ahad, 30 Agustus 2015.
"Ya, kami memang berjabat tangan, tapi pembekuan masih ada," kata La Nyalla kepada wartawan setelah menyaksikan pertandingan penyisihan Grup A Piala Presiden antara Persib dan Persebaya United di Bandung, Ahad, 6 September 2015. "Dia (Menpora) bilang, nanti ketemu empat mata. Kalau bagi saya, bersalaman berarti sudah selesai, sudah damai semua. Tapi, bagi dia, bersalaman itu hanya sekadar basa-basi."
Menurut La Nyalla, pihaknya sedang melakukan beberapa terobosan untuk menyelesaikan masalah hukuman skors PSSI oleh Federasi Internasional Asosiasi Sepak Bola (FIFA). Di antaranya mengundang perwakilan FIFA ke Indonesia untuk membicarakan ihwal pembekuan tersebut.
"FIFA menunggu undangan dari kami. Dia mau datang. Tapi saat itu yang datang adalah Sheikh Ahmad (Al-Fahad Al-Sabah). Dia datang sebagai Presiden OCA (Badan Olimpiade Asia) dan mau menjembatani," ucap La Nyalla.
Namun, menurut La Nyalla, Menteri Imam seolah-olah ingin membinasakan rezim PSSI La Nyalla. "Mau dihancurleburkan dengan mengumpulkan stakeholder PSSI. Ini model apa? Seperti kudeta saja," tuturnya.
Penskorsan PSSI oleh FIFA akibat keputusan Menteri Imam yang tidak mengakui kepengurusan PSSI di bawah La Nyalla. Hingga kini, hukuman skors itu belum dicabut FIFA lantaran surat pemerintah yang tidak mengakui PSSI belum dicabut.
Kondisi ini pun membuat La Nyalla bingung. "PSSI sudah melobi ke Mabes Polri (kepolisian). Kami mempertanyakan, katanya liga bisa jalan, tapi tanpa PSSI," katanya. "Bagaimana caranya? Ini yang menjadi pertanyaan kami."
Menurut La Nyalla, kompetisi liga Indonesia tidak bisa digelar tanpa ada regulasi yang pasti dari PSSI. "Jadi tidak mungkin ISL (Indonesia Super League) bisa berjalan tanpa PSSI," ujarnya. "Sekarang kami butuh action, bagaimana caranya kita bisa bermain bola. Dulu, waktu zaman LPI (dualisme), kita masih bisa main, kok. Tapi sekarang kita tidak bisa main, dan mereka bisa (menggelar Piala Kemerdekaan). FIFA tidak bisa dianggap main-main, lho."
AMINUDIN A.S.