Mengapa Liverpool Bisa Kalah dari Red Star? Ini Penjelasannya
Reporter
Terjemahan
Editor
Hari Prasetyo
Rabu, 7 November 2018 13:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Liverpool, Jurgen Klopp, mengatakan para pemainnya kesulitan menemukan “mojo mereka” setelah mereka kebobolan dua gol cepat dari pemain Red Star Belgrade pada menit ke-22 dan 29.
Liverpool kalah 0-2 dari tuan rumah Red Star pada pertandingan keempat Grup C Liga Champions Eropa di Stadion Rajko Mitic, Beograd, Serbia, dinihari tadi, Rabu 7 November 2018.
Liverpool masih menempati urutan kedua Grup C setelah masing-masing menyelesaikan empat pertandingan dalam sistem kandang dan tandang. Nilai mereka juga sama dengan urutan pertama, Napoli, yaitu enam.
Tapi, dengan kehadiran Paris Saint-Germain di urutan ketiga dengan hanya selisih satu angka dan Red Star sebagai juru kunci klasemen dengan jarak dua poin, Klopp sudah merasa cemas mereka bisa tersingkir pada fase grup ini.
“Saya tidak mengatakan hal itu sudah serius jika kami kalah dua kali. Tapi, kami harus memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi,” kata Klopp.
“Jika tidak, maka akan sulit karena pertandingan berikutnya sudah menjadi pertandingan tandang (di markas Paris Saint-Germain). Yang terakhir adalah pertandingan kandang yang sangat sulit melawan Napoli,” Klopp melanjutkan.
“Ada banyak momen ketika kami bisa mengendalikan permainan dan kami tidak melakukannya. Kami membuat keputusan yang salah,” kata Klopp tentang pertandingannya melawan Red Star.
Adapun mojo yang disebutkan Klopp itu antara lain bisa didefinisikan sebagai keberuntungan, pesona atau keterampilan yang tampaknya berasal dari sesuatu yang magis atau supranatural.
Jadi mojo juga bisa dimaknai kemampuan khas, daya intensitas, dan kekuatan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengalahkan lawan berdasarkan kualitas individu maupun tim. Kemampuan mempertahankan tingkat intensitas tinggi inilah yang membawa Liverpool mencapai final Liga Champions musim lalu.
Tapi, bermain dengan intensitas tinggi pada setiap pertandingan dan selamanya tak selalu mudah. Apalagi ketika bermain di kandang lawan dengan dukungan suporter yang gegap-gempita dan menghadapi permainan penuh semangat dari anak-anak Red Star.
Liverpool yang lebih banyak menguasai bola sepanjang pertandingan, 80 persen, tak mampu mengubah keadaan, selain dua tembakan mereka menerpa mistar dua kali pada babak kedua.
Mungkinkah para pemain Liverpool kelelahan dibebani jadwal yang padat dan rotasi pemain yang terbatas karena stok atau kapasitas yang tidak merata antara pemain utama dan pelapis?
Tanda-tanda para pemain Liverpool kelelahan sehingga menggerus daya sengat mereka sudah terlihat pada Minggu, 4 November 2018, ketika diimbangi Arsenal 1-1 dalam Liga Primer Inggris di Stadion Emirates, London.
Di liga-liga terkemuka, sepak bola sudah begitu kompetitif. Tapi, mereka adalah manusia dan bukan mesin. Ada saat mereka fokus atau kegairahan menurun karena digerus jadwal laga yang padat.
Chelsea yang disanjung begitu bagus menjelang pertandingan melawan Manchester United di Liga Primer Inggris, 20 Oktober 2018, misalnya. Di kandang sendiri, Chelsea akhirnya harus berjuang keras sampai injury time untuk bisa menyamakan kedudukan 2-2.
Liverpool bisa jadi sedang dalam grafik menurun. Tapi, dengan kualitas yang mereka miliki selama ini, selalu ada peluang untuk bangkit dari situasi keterpurukan dan melaju ke final Liga Champions seperti musim lalu.
BBC | GUARDIAN