TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Manchester City Pep Guardiola memiliki reputasi yang mengagumkan di Liga Champions. Guardiola membawa Barcelona memenangi kejuaraan utama antarklub Eropa itu dua kali. Namun ia punya rekor buruk dalam partai tandang Liga Champions di babak knockout.
Pengalaman pahit di kandang lawan itu membuat Guardiola bersikap lebih hati-hati saat membawa Manchester City tampil di Stadion St Jakob-Park, Basel, Swiss, Rabu dinihari nanti, 14 Februari 2018. Ini pertemuan pertama babak 16 besar Liga Champions musim ini.
Di Barcelona, Bayern Muenchen, dan Manchester City, Guardiola membawa tim-timnya itu tampil 22 kali pada babak knockout Liga Champions sebelum tampil di kandang Basel FC dinihari nanti. Dari 22 kali laga tandang, timnya hanya menang empat kali, seri 10, dan kalah delapan kali.
Pada 17 kali kesempatan di antaranya, tim asuhan Guardiola harus menjalani laga tandang lebih dulu. Hasilnya tiga kali menang, tujuh seri, dan tujuh kali kalah.
Salah satu alasan tim-tim Guardiola—untuk sementara—kerap mendapat hasil yang tidak memuaskan pada partai tandang adalah gaya kepelatihan manajer asal Spanyol ini.
Guardiola dinilai sebagai manajer paling proaktif dalam sejarah sepak bola. Ia lalu berpikir bahwa inisiatif untuk lebih dulu mengendalikan permainan adalah hal penting. Ia akan menyuruh para pemainnya segera mendominasi penguasaan bola dan mengambil alih irama permainan dari lawannya.
Strategi tersebut selalu dilakukan pada laga kandang dan tandang.
Saat konferensi pers pada Senin malam di St Jakob-Park, Guardiola bicara dengan jelas apa yang akan dilakukannya.
“Kami akan terus berusaha. Dalam setiap pertandingan, sejak kami bersama-sama untuk 18 bulan, kami akan berusaha memaksakan gaya permainan kami,” kata Guardiola.
“Liga Champions adalah kompetisi yang sangat berbeda dengan liga domestik, Liga Primer Inggris. Sebab, kemampuan fisik serta kualitas teknik individu dan tim lawan sangat tinggi. Kami berharap bisa mengontrol permainan semaksimal mungkin dan lolos ke babak berikutnya,” tuturnya.
Beberapa kali keinginan Guardiola itu tak tercapai, seperti ketika Bayern Muenchen tampil di kandang Arsenal, Februari 2014, dalam babak 16 besar. Tapi Bayern tetap bisa menang 2-0.
Guardiola tidak seperti Jose Mourinho atau Diego Simeone, yang menyuruh para pemainnya bertahan di garis belakang dan membiarkan lawan menguasai bola jika tampil di kandang lawan. Hal itu terutama untuk partai-partai besar dan menentukan.
Permainan progresif Guardiola juga beberapa kali menemui kegagalan menyakitkan. Pada semifinal 2012, Barcelona sangat gemilang di kandang Chelsea. Tapi kemudian kecolongan gol dari Didier Drogba. Barca juga kalah pada pertemuan pertama di kandang Inter Milan pada 2010. Tuan rumah mengandalkan serangan balik.
Bermain agresif ketika jauh dari kandang selalu menimbulkan risiko, antara lain meninggalkan celah di belakang. Guardiola tahu dan karena itu ia sadar persiapannya harus matang.
“Lawan-lawan (di Liga Champions) akan sangat jeli dan Anda harus juga seperti itu. Bagaimana Anda mengontrol momen-momen buruk selama 180 menit. Jika mampu melakukannya, Anda punya peluang besar melaju,” kata Manajer Manchester City ini.
INDEPENDENT | SOCCERNET | HARI PRASETYO