TEMPO.CO, Jakarta - PSS Sleman sedang mencoba kemampuan pemain asing asal Maroko, Abdelkbir Khairallah, seperti dikutip dari situs Liga Indonesia, Senin, 18 Februari 2019.
Pemain yang pernah memperkuat Bhayangkara United FC dan Madura United FC itu sudah mengikuti latihan PSS Sleman sejak Senin lalu.
Pelatih PSS, Seto Nurdiyantoro, mengatakan secara sepintas kemampuan Abdelkbir Khairallah terlihat bagus. Tapi, tim pelatih tidak ingin terburu-buru.
"Secara permainan masih akan terus dilihat seperti apa. Jadi statusnya masih tetap trial," ujar Seto Nurdiyantoro.
Untuk pemain asing, PSS membutuhkan sosok di sektor belakang, tengah, dan depan. Tim promosi Liga 1 2019 ini juga akan memaksimalkan pemain asing dari Asia.
Abdelkbir Khairallah masuk dalam generasi pemain asing era sekarang yang terus membanjiri Liga Indonesia, dari era Galatama periode 1980-an sampai sekarang.
Banyaknya pemain asing yang mengadu nasib di Indonesia –seiring dengan kedatangan agen pemain dari mancanegara maupun perwakilan lokal- bisa diukur dari kehadiran pemain yang lumayan kualitasnya sehingga cepat mendapat klub sampai yang terus terlunta-lunta karena gagal lolos tes, seperti yang sekarang dilakukan PSS Sleman itu.
Pada era Liga Sepak Bola atau Galatama, kompetisi semipro pertama di Indonesia pada 1979, nama pemain asing asal Singapura, yaitu Fandi Ahmad dan kiper David Lee, mengangkat pamor kompetisi dan klub yang dibelanya, Niac Mitra.
Kualitas penampilan Fandi Ahmad dan David Lee memang bagus. Pada perkembangannya karena diguncang skandal suap, Galatama bubar.
Pada 1994 ketika Galatama diganti dengan Liga Indonesia yang kemudian menggabungkan kompetisi perserikatan PSSI dengan eks Galatama, muncul nama Mario Kempes dan Roger Milla, dua veteran Piala Dunia, yang awalnya direkrut Pelita Jaya.
Pamor Liga Indonesia sempat naik dengan kehadiran dua mantan pemain Piala Dunia pada sisa-sisa kejayaannya itu dan diikuti generasi Luciano Leandro, Carlos de Mello, Jacksen F. Tiago, dan kawan-kawan.
Seiring waktu, Liga Indonesia juga meredup sebelum dibentuk Liga Super Indonesa dan kemudian ada kompetisi tandingan sebagai reaksi atas ketidakberesan yang terjadi, yaitu Liga Primer/Prima Indonesia atau LPI.
Seiring dengan evolusi kompetisi pro di tanar air itu, kelas sosok pemain asing yang bisa mengangkat pamor kompetisi juga ikut meredup. Michael Essien, misalnya, sudah tinggal sisa-sisanya ketika bergabung dengan Persib dan kemudian lenyap.
Tapi, dengan kelas pemain asing yang tergolong medioker itu, mereka tetap mendominasi atas pemain lokal. Salah satu contoh teraktual terlibat ketika bagaimana pemain asal Brasil, Alberto Goncalves, yang kemudian mengalami proses naturalisasi menjadi andalan ujung tombak tim-tim utama Indonesia. Kini ia direkrut Madura United setelah timnya musim lalu, Sriwijaya FC, terdegradasi ke Liga 2.
Pemain yang akrab dipanggil Beto itu tak seberuntung pemain naturalisasi lainnya asal Uruguay, Cristian Gonzales, di Piala AFF. Tahun lalu, Beto gagal meloloskan Indonesia dari fase grup Piala AFF. Pada 2012, Gonzales sebagai ujung tombak tim membawa Indonesia menembus final melawan Malaysia, sebelum kalah dalam pertandingan yang kontroversial itu.
Bahkan dalam usia 40 tahun lalu, Cristian Gonzales, masih menjadi andakan PSS Sleman untuk meraih tiket promosi ke Liga 1, sebelum dilepas musim ini.
Di lini belakang tim Indonesia dulu ada bek tengah naturalisasi dari Nigeria, Victor Igbonefo, yang kini bermain di Liga Thailand setelah membela Persib.
Sumbangan pemain asing terhadap peningkatan kualitas Liga Indonesia ada tapi belum menonjol. Demikian juga kontribusi para pemain naturalisasi di tim nasional.
Marko Simic, misalnya, membawa Persija memenangi Liga 1 musim lalu, sebelum penyerang dari Kroasia gagal meloloskan timnya dari kualifikasi Liga Champions Asia musim ini.
Pada era kepemimpinan mendiang Sjarnoerbi Said, di PSSI 1981-1985, kehadiran pemain asing malah sempat dilarang. Kini kuota mereka untuk Liga 1 untuk masing-masing dibatasi empat pemain.
Peran pemain asing itu rata-rata belum bisa mengantarkan klub meraih prestasi secara mencolok, misalnya berbicara di tingkat Asia. Demikian juga dengan pemain naturalisasi di tim nasional.
Tapi, kehadiran pemain asing di Liga 1 dan Liga 2 akan tetap menonjol dan mendominasi di atas pemain lokal. Contoh mutakhir adalah pada sosok Beto itu. Seakan-akan tim nasional PSSI tak punya penyerang lokal andalan lagi setelah Bambang Pamungkas. Padahal, Beto sudah melewati usia 30.
Meski bukan perbandingan yang imbang, Liga Indonesia bisa berkaca pada Inggris. Sebelum sukses menembus semifinal Piala Dunia 2018 dengan pembenahan pemain mudanya di kompetisi, dominasi pemain asing di Liga Primer Inggris menggerus kualitas kaderisasi pemain tim nasionalnya. Sampai awal musim Liga 1 2018, ada 70 pemain asing yang terdaftar dan mayoritas berasal dari Brasil.