TEMPO.CO, Jakarta - Pemain asing terus berdatangan di Liga 1 yang akan menyongsong musim kompetisi 2019 dan dijadwalkan akan berlangsung seusai pemilihan umum presiden dan wakil rakyat, yaitu Mei mendatang.
Pada saat Joko Driyono, pelaksana tugas Ketua Umum PSSI, ditahan polisi karena dugaan keterlibatan dalam pengaturan skor dan kelompok apa yang dinamakan mafia persepakbolaan Indonesia, animo pemain mancanegara untuk melamar bermain di Liga 1, Liga 2, dan divisi di bawahnya tak menyurut.
Sebagian dari mereka, para pemain asing itu, sudah tak muda lagi. Fabiano Beltrame, misalnya, yang sedang menjadi buah bibir di Persib Bandung itu berusia 36 tahun. Pemain asal Brasil itu sedang menjalani proses naturalisasi menjadi warga negara Indonesia.
Fabio da rosa Belrame (persib.co.id)
Dan, jika prosesnya mulus dengan pengalaman dan kualitasnya sebagai bek tengah yang masih di atas para pemain lokal selama membela Persela Lamongan, Persija, Arema FC, dan Madura United, Fabiano berpeluang menyusul jejak Greg Nwokolo, 33, dan Ilija Spasojevic, 31, yang baru saja membawa Timnas Indonesia senior mengalahkan tuan rumah Myanmar 2-0 pada pertandingan persahabatan internasional FIFA, Senin, 25 Maret 2019.
Fabiano, Greg, Spaso, dan dulu ada Victor Igbonefo di lini belakang tim nasional Indonesia masih mending dibandingkan Cristiano Gonzales yang menjadi ujung tombak tim nasional Indonesia senior pada final Piala AFF 2012 pada usia 36 tahun.
Bukan berarti tak ada pemain naturalisasi yang muda dan bisa menjadi aset tim nasional Indonesia pada masa depan. Pekan lalu, misalnya, pelatih timnas U-23, Indra Sjafri, dikejutkan dengan keputusan badan sepak bola dunia, FIFA, melarang penyerang berusia 21 tahun, Ezra Harm Ruud Walian, membela timnas U-23 dengan alasan proses perpindahan kewarganegaraannya belum beres.
Dalam data FIFA jelas terekam semua pertandingan internasional yang ada di bawah naungannya, kecuali Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara, termasuk kiprah Ezra di tim nasional Belanda U-16 dan Belanda U-17 pada periode 2012-2013. Padaha, Ezra sudah membela timnas Indonesia sejak 2017.
Juga ada Stefano Lilipaly, 29, yang tampil heroik membela timnas Indonesia pada Asian Games 2018. Seperti Ezra, ia juga pernah membela tim junior Belanda. Adapun ujung tombak Garuda pada pesta olahraga multicabang Asia tahun lalu, Alberto Goncalves, asal Brasil sudah berusia 37 tahun dan kini menjadi andalan Madura United.
Pemain-pemain bintang yang sudah memasuki usia senja di liga-liga terkemuka di Eropa juga biasa menepi ke liga-liga di Asia, seperti Andres Iniesta, arsitek tiki-taka Spanyol pada Piala Dunia 2010, yang kini bermain di Liga Jepang.
Tapi, pemain asing kawakan yang kategori kebintangannya mendekati sekelas Iniesta, tapi standar mainnya masih terjaga, belum ada yang mampir di Liga Indonesia. Belum tergolong lama ada Michael Essien di Persib, tapi seakan lenyap tak berbekas di sini sebelum mencuat lagi pekan lalu karena bakal main di Uzbekistan.
Michael Essien, Rafael Maitimo, dan Carlton Cole, mengikuti latihan di lapangan Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, 3 April 2017. Para pemain baru Persib itu mulai berlatih untuk mempercepat adaptasi dengan gaya bermain Persib. TEMPO/Prima Mulia
Kecuali Ezra dan Stefano, kemunculan para pemain kawakan sekelas Fabiano Beltrame, Greg, Spaso, Beto, dan kawan-kawan itu menunjukkan juga bagaimana standar kualitas Liga Indonesia belum beranjak jauh dari Mario Kempes dan Roger Milla pada senja kariernya bermain di Indonesia pada periode 1990-an.
Kecuali Ezra yang masih bermain di Liga Belanda dan Stefano bertahan di Bali United, kesan rata-rata bahwa pemain asing yang sudah melewati usia 30-an tapi masih sangat diperlukan oleh klub-klub di Liga 1 dan di bawahnya masih sangat kuat.
Usia memang tak mutlak bisa dijadikan patokan untuk menahan laju pemain asing kawakan di Liga 1. Meski untuk sepak bola, rasanya akan sangat sulit untuk bisa seperti Cristian Gonzales, yang pada usia 40 tahun masih bisa membawa PSS Sleman meraih promosi ke Liga 1 pada musim lalu.
Atau, sebaliknya, fenomena para pemain asing veteran di Liga Indonesia dan tim nasional menunjukkan bagaimana sepak bola kita masih dalam taraf mediokeritas.
Dari segi industri komersial juga. Hanya warisan fanatisme suporter tim-tim perserikatan dan kebanggaan identitas suporter tim peninggalan Galatama yang kuat, seperti Arema FC, yang masih bisa menyelamatkan kesemarakan kompetisi.
Di luar itu, Liga 1 dan divisi di bawahnya belum bisa menyedot perhatian bintang kawakan sekelas Iniesta dan Zlatan Ibrahimovic untuk datang bergabung.
Mungkin industri Liga 1 cs di Indonesia akan terdongkrak di mata internasional jika kompetisinya kian bagus –terutama pengaturan jadwalnya. Di sini pentingnya, soal skandal pengaturan skor dan dugaan adanya mafia pengatuan sepak bola Indonesia dibersihkan.
Penahanan Joko Driyono ini menjadi sinal penting buat masa depan Liga 1 dan persepakbolaan Indonesia pada umumnya. Kalau tidak, dengan para pemain medioker asing maupun lokal, nasib mereka bisa seperti Galatama pada era 1980-1990-an.
Pada era Galatama, kehadiran Fandi Acmad dan David Lee, misalnya, jauh lebih menterang dalam posisi pemain asing dibandingkan Fabiano cs di Liga 1 sekarang. Dua pemain asal Singapura itu datang pada masa segar dan muda. Tapi, karena suap –pengaturan skor dan “kawan-kawannya”- rintisan kompetisi sepak bola semipro di Indonesia itu akhirnya karam juga.