TEMPO.CO, Jakarta - Fina sepak bola Amerika Latin atau Copa America dinihari nanti, Senin 8 Juli 2019, di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, adalah ajang pembuktian tim tuan rumah untuk menepis segala isu miring tentang diri mereka.
Baru saja, beberapa jam lalu pada hari ini, Minggu 7 Juli 2019, Lionel Messi yang menolak menerima medali peringkat ketiga tim Argentina dan menerima kartu merah dalam pertandingan melawan Cile melontarkan tuduhan serius.
Messi menuduh kejuaraan kali ini sengaja diatur untuk memenangkan tim tuan rumah. Bibit kekesalan pemain sepak bola terbaik di duinia ini sebenarnya sudah muncul ketika timnya, Argentina, dikalahkan Brasil, pada semifinal.
Selain tuduhan serius Messi ini –yang bisa saja mendatangkan hukuman lain buatnya dari organisasi sepak bola Amerika Selatan-, publik sepak bola Brasil sendiri masih belum begitu yakin dengan performa timnya. Padahal, Brasil melaju sampai ke babak final tanpa kebobolan.
Rasa tak nyaman dengan penampilan timnya itu masih menggelayuti hati para suporter Brasil, sekalipun lawan yang dihadapi di Maracana dinihari nanti adalah Peru. Tim ini dikalahkan Brasil 5-0 pada babak penyisihan grup. Sebab, ini bukan soal Peru atau lawan lainnya. Ini soal ketakpuasan melihat perjalanan tim nasional Brasil dalam satu dekade terakhir.
Sebuah kemenangan yang dirah Brasil dinihari nanti akan merupakan trofi ketiga yang diraih di kandang dalam masa enam tahun terakhir yang bergejolak buat mereka.
Penulis sepak bola Breiller Pires yang menulis di koran El Pais, Brasil, sebagaimana dikutip dari Guardian, menyatakan, “Brasil mengalami penderitaa terberat dalam sejarah. Mereka dua kali tersingkir dari Copa America dan kembali mengecewakan pada Piala Dunia (2018), dengan dikalahkan Belgia di perempat final.”
“Jika mereka memenangkan Copa America, tim tidak boleh terkecoh dengan hasilnya. Pasalnya, tingkat teknis kompetisi bahkan tidak terlihat seperti sebuah standar yang dibutuhkan untuk mengalahkan tim besar dari Eropa,” tulis Breiller.
“Pada 2013, Brasil tertipu oleh hasil Piala Konfederasi dan membayar harga yang sangat tinggi,” Breiller melanjutkan. Pada Piala Dunia 2014 yang berlangsung di Brasil, tim tuan rumah tersingkir pada semifinal karena dikalahkan Jerman 7-1.
Jadi tampaknya yang dibutuhkan Brasil dinihari nanti adalah lebih dari sekadar sebuah kemenangan, tapi permainan yang berkualitas tinggi; yang membuat pendukungnya yakin bahwa dengan modal trofi Copa America 2019 mereka bisa kembali menjadi juara Piala Dunia pada 2022.
Pasalnya, kalau untuk menang saja, sejumlah media memprediksi Brasil akan mudah melakukannya dinihari nanti. Penulis senior ESPN FC, Gabriele Marcoti, bahkan mengatakan Peru membutuhkan pemain bertalenta tingkat supermanusia untuk bisa mengatasi tingkat kesenjangan kualitas timnya dengan Brasil.
Tanpa Neymar, Brasil punya kiper terbaik di dunia saat ini, Alisson Becker, dari Liverpool bersama rekan seklubnya, Roberto Firmino, Philippe Countinho dari Barcelona, Gabriel Jesus, Everton, dan kawan-kawan yang membuat Renato Tapia, Yoshimar Yotun, dan kawan-kawan dari Peru dalam prediksi di atas kertas akan kewalahan. Belum lagi dukungan riuh suporter Brasil di Maracana yang menekan lawan.
Tapi, Brasil butuh lebih dari sekadar kemenangan, berapapun skornya, pada final Copa America dinihari nanti. Mereka mesti menunjukkan kualitas sebuah tim yang menimbulkan harapan buat penggemar untuk bisa membalas kekalahan dari tim-tim Eropa pada Piala Dunia kelak.