TEMPO.CO, Jakarta - Ada pemain seperti Neymar yang memiliki kualitas lebih hebat dari rekan-rekan lainnya di sebuah tim. Ia berhak mendapat sebutan pemain bintang, digaji lebih tinggi dengan tambahan berbagai bonus, dan dimainkan terus-menerus.
Tapi, seorang Neymar pun tetap terikat pada sebuah adagium: sepak bola adalah permainan 11 orang dan karena kolektivitas serta empati kebersamaan harus tetap dijaga.
Karena itu, jika pemain bintang seperti Neymar mulai berulah dengan serangkaian tindakan indisipliner yang mengabaikan nilai-nilai kolektivitas itu, apakah Paris Saint Germain rela melepaskannya begitu saja?
Apalagi keinginan Neymar untuk meninggalkan Paris Saint-Germain itu terjadi setelah PSG harus merogoh 222 euro atau sekitar Rp 3,4 triliun untuk membayar transfer pemain Brasil itu dari klub Barcelona pada musim panas 2017. Saat itu nilainya memecahkan rekor transfer termahal di dunia.
Kepindahan Neymar dari Barcelona cukup mengejutkan. Ia mungkin tak mau di bawah bayang-bayang Lionel Messi, sebagai bintang utama di Barca. Di luar urusan ego dan betapapun pragmatisnya bisnis sepak bola, tetap ada catatan negatif soal Neymar ini di kalangan petinggi Barcelona.
Itu sebabnya rumor kembalinya Neymar ke Barcelona tampaknya semakin lama kian melemah. Barca mulai berfokus menggarap Antoine Griezmann, Frenkie de Jong, dan pemain baru lainnya buat cepat padu dengan Messi cs, dan melupakan Neymar.
Adapun Neymar sendiri sempat menjalani masa bulan madu di PSG sekitar tiga tahun, antara lain, dengan mengamankan trofi domestik, juara Liga 1 Prancis. Tapi, trofi Liga Champions Eropa, yang menjadi muara investasi besar-besaran Nasser Al-Khelaifi dan kawan-kawan dari Qatar Sports Invesments di PSG tak kunjung menjadi kenyataan.
Neymar pun kemudian bertindak yang menimbulkan kekhawatiran pada tragedi stereotipe pemain tenar Brasil pada masa lalu, seperti Adriano Leite dan Ronaldinho. Gaya hidup berfoya-foya, sangat flamboyan di luar lapangan, dan tingkah-tingkah indisipliner pelan-pelan menghancurkan karier mereka.
Apakah ini karena adanya kesamaan latar belakang kehidupan mereka? Adapun Kaka, Socrates, dan Leonardo, yang kini menjadi Direktur Olahraga PSG, adalah contoh dari warna lain dari perjalanan kehidupan mantan bintang Brasil lainnya.
Selain gaya hidupnya yang flamboyan, Neymar juga dibekap cedera sejak di PSG sampai membuatnya absen ketika Brasil menjadi tuan rumah Copa America yang baru saja usai.
Kini Neymar dan ayahnya yang juga bertindak sebagai agennya serta timnya mencoba menata kariernya lagi setelah secara terbuka ingin meninggalkan PSG.
Banyak rumor, banyak analisis, dan banyak spekulasi tentang siapa saja yang tertarik, Juventus, Real Madrid, dan klub besar lain untuk mendatangkan Neymar dengan berbagai paket penawaran pertukaran pemain.
PSG tentu akan melihat semua itu dari kacamata bisnis: siapa yang bisa membeli dengan nilai uang yang dapat membuat mereka merasa impas setelah mengeluarkan Rp 3,4 triun dua tahun lalu.
Kalau harga penawaran Neymar murah? Kita tunggu apakah PSG bersedia atau mempersulit kepindahannya. Atau, bahkan, “menggantung” masa depannya sampai Neymar benar-benar terpuruk? Rasanya mungkin tidak seekstrim itu. PSG adalah kumpulan orang-orang terhormat.
Tapi, PSG pasti menyimpan memori buruk soal Neymar. Ia pernah datang telat dari jadwal latihan yang telah disepakati. Leonardo menegurnya. Neymar melawan seniornya itu secara verbal di hadapan semua pemain PSG.
“Tidak boleh ada satupun pemain PSG yang bergaya pemain bintang,” kata Nasser Al-Khelaifi, dalam kapasitasnya sebagai presiden klub Paris Saint-Germain, di France Football, jauh sebelum terjadi insiden pertengkaran Leonardo dengan Neymar itu di hadapan pemain lainnya.