TEMPO.CO, Jakarta – Bintang Liverpool asal Senegal, Sadio Mane, kerap disanjung karena kerendahan dan kemurahan hatinya. Liku-liku hidup yang ia jalani tampaknya ikut menempanya menjadi sosok seperti itu.
Mane masih berusia 15 tahun saat ia memutuskan untuk putus sekolah dan melanjutkan berkonsentrasi pada sepak bola yang sudah ia minati sejak kecil. Keputusan tersebut sempat ditentang oleh orang tuanya. Walaupun begitu, Mane tetap membulatkan tekadnya untuk menekuni olahraga ini.
Kampung halamannya adalah sebuah desa kecil bernama Bambali, yang lokasinya sangat jauh dari Dakar, ibu kota Senegal. Mane memutuskan untuk pergi sendiri ke kota Ziguinchor yang berjarak satu setengah jam dari rumahnya untuk mencari klub sebagai tempat berlatih.
Penyerang Liverpool, Sadio Mane melakukan selebrasi setelah mencetak gol ke gawang Leicester City dalam pertandingan Liga Inggris di Anfield, Liverpool, 31 Januari 2019. Action Images via Reuters/Carl Recine
"Desa saya sangat jauh dari Dakar dan saya berpikir tidak mungkin seorang pencari bakat akan datang ke sana. Jadi saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya sangat mencintai sepak bola dan saya ingin berkembang," ujar Mane seperti dikutip laman berita Sport Bible.
Kepergiannya ke Dakar tidak banyak diketahui warga desa. Hanya beberapa temannya yang tahu bahwa bahwa Mane akan meninggalkan kampung halamannya menuju ibukota guna menekuni minatnya bermain bola. “Saya berjalan cukup lama untuk bertemu seorang teman yang bersedia meminjamkan saya sejumlah uang, agar saya dapat naik bus ke Dakar,” kata Mane.
Di Dakar, Mane sempat dipandang sebelah mata oleh rekan setimnya. Maklum ia hanya datang menggunakan sepatu usang dan baju yang sobek di beberapa bagian. Namun kemampuannya ternyata menarik menarik minat pemandu bakat dari Akademi Generation Foot yang memiliki hubungan dengan klub Prancis, FC Metz. Mereka kemudian memberikan Mane tempat berlatih dan tempat tinggal.
Jalan Mane menuju pesepakbola andal kemudian terbuka lebar. Pada tahun 2011 ia meninggalkan Afrika guna melakukan uji coba di Prancis, hasilnya ia langsung masuk ke tim utama FC Metz yang saat itu berlaga di divisi dua Prancis. Kariernya terus menanjak hingga akhirnya ia bisa menjejakkan kaki di Liga Inggris dan membela Southampton.
Di Southampton, kariernya semakin mencorong. Pada Mei 2015 dia memecahkan rekor hat-trick tercepat di Liga Inggris atas eks penyerang Liverpool, Robbie Fowler. Ia juga sempat mencetak tiga gol hanya dalam waktu dua menit 56 detik saat Southampton menang 6-1 atas Aston Villa. Talenta itu akhirnya menambatkannya pada Liverpool sebagai klub tempat ia bermain hingga saat ini.
Kesuksesan kariernya dalam sepak bola ternyata tidak membuatnya tinggi hati dan melupakan jati diri. Pemain muslim itu dikabarkan membantu perombakan masjid tempat ayahnya biasa menjadi imam. Pada tahun lalu ia juga sempat jadi perbincangan ramai di media sosial karena tertangkap kamera sedang membersihkan masjid di dekat rumahnya, seusai Liverpool menang atas Leicester.
Yang terbaru, pekan lalu, ia mengunjungi kampungnya untuk meninjau pembangunan sekolah yang ia biayai. Pemain sayap itu mendonasikan 200 ribu pound sterling (Rp 3,4 miliar) pada April tahun lalu untuk pembangunan sekolah itu.
Meski banyak melakukan kebaikan, Sadio Mane tidak ingin kebaikannya ini ditampilkan. Hal ini seperti yang terjadi saat The Telegraph hendak mewawancarainya perihal tindakan amalnya yang dilakukan untuk membangun sekolah di kampung halamannya. Ia menolak wawancara soal tersebut. "Saya tidak melakukan ini untuk publisitas," kata dia.
DAILY MAIL | SPORTBIBLE | RIDWAN KUSUMA AL-AZIZ