TEMPO.CO, Jakarta - Wajah sepak bola di Indonesia mesti berubah lebih menyenangkan, mirip kalau kita sedang berada dalam sebuah festival. Karena itu, siapapun yang menjadi Ketua Umum PSSI, paradigma sepak bola nasional yang kusut, penuh intrik politik, dan korupsi di sana-sini mesti diubah.
Yang tetap mengagungkan “ nilai-nilai” lama dalam struktur bangunan pengorganisasian yang kaku, mestinya lebih baik masuk di kotak amatir saja.
Pergelaran Asian Games 2018, terutama yang ada di seputaran kawasan Gelanggang Olahraga Bung Karno, mengajarkan bahwa olahraga adalah kegembiraan, kreativitas, jiwa muda, dan hiburan dalam balutan kebanggaan kepada atlet-atlet nasional yang tampil.
Jika anda berada di sebuah perhelatan sepak bola, seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, misalnya. Lingkungan yang tercipta adalah sebuah pesta raya, memang ada kegaduhan di sana-sini tapi masih tetap bisa dikendalikan. Bila tim anda kalah, merataplah di taman-taman kota. Tapi, ratapan-ratapan itu juga sebuah tontonan yang menyenangkan.
Bali United yang sudah melantai di bursa efek dan tahun depan akan diikuti Arema FC dan klub-klub lain mestilah diserap sebagai pandangan bahwa sepak bola mesti dikelola secara bisnis yang profesional seperti Liga Primer Inggris. Dari sana akan tumbuh bibit-bibit pemain tim nasional dan PSSI cukup bertindak sebagai regulator yang menyeimbangan kepentingan klub, liga, dan tim nasional.
Skandal pengaturan skor dan pertandingan, korupsi, dan kerusuhan akan tunduk lantas musna jika sepak bola dikelola semakin profesional. Ini terjadi sebagaimana skandal calciopoli yang sempat menghantam Seri A Liga Italia dan divisi di bawahnya, aksi hooligan yang sempat membuat klub Inggris dilarang tampil lima tahun di Eropa, dan pelanggaran etika yang pernah terjadi pada kepengurusan Asosiasi Sepak Bola Inggris.
Tekanan industri sepak bola yang kian profesional juga pada akhirnya membuat Sepp Blatter sebagai presiden badan sepak bola dunia jatuh.
Mengelola sepak bola nasional dengan gaya yang agak lain dan berkarakteristik Milenial penting karena sampai pada kepengurusan PSSI yang terakhir, masih dengan wajah serta pola lama. Mereka didatangkan karena latar belakang kekuasaannya, pengaruh politik, dan bukan karena intensitasnya pada sepak bola dan kemauan untuk mengembangkan olahraga sebagai industri kreatif hiburan.
Karakteristik Milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi.
Jika kelak paca calon-calon ketua umum dan wakilnya masih mengusung janji dengan jargon-jargon lama di luar karakteristik Milineal itu, kemungkinan PSSI masih seperti yang dulu-dulu juga: jalan di tempat.