TEMPO.CO, Jakarta - Alexis Sanchez tiba di Milan, Italia, Rabu 28 Agustus 2019. Ia menjalani pemeriksaan kesehatan buat keperluan kelayakannya bermain di klub Inter Milan. Tapi, sejumlah suporter klub legendaris Seri A Liga Italia berjuluk Nerazurri itu sudah menyambut Sanchez dengan sukacita.
Sejumlah suporter Inter terdengar bersorak menyambut Sanchez saat bintang sepak bola ini tiba di Milan dalam video Fabrizio Romano di Twitter. Dan, mantan pemain Udinese ini melambaikan tangan kepada tifosi Inter.
Di Manchester, Inggris, pada saat yang sama, suporter Manchester United juga menyambut kepergian Sanchez dengan riuh, terutama di media sosial. Sejumlah pendukung tim legendaris Liga Primer Inggris berjuluk Red Devils juga mengungkapkan perasaan lega dan sukacitanya. Tapi, dengan makna yang berbeda.
Sebagian suporter Setan Merah merasa lega karena pemain yang dianggap tidak berguna buat tim United itu akhirnya hengkang juga dari Old Trafford.
Seorang penggemar United menulis Twitter, “Bisnis terburuk yang pernah dilakukan United. Dan, Inter bahkan tidak harus membelinya tahun depan.” Seorang lain menulis, “Baguslah. Penandatanganan terburuk yang pernah ada. Adios Amigo.”
Bahkan, ada penggemar Setan Merah yang lebih galak lagi tulisannya di Twitter, “Selamat tinggal. Dia gagal besar.” “Kegagalan,” tulis pendukung United lain dengan ringkas.
Sanchez masih terikat kontrak dengan Manchester United sampai 2022. The Red Devils memutuskan untuk tidak mencantumkan opsi membeli dalam isi surat kontrak peminjaman Sanchez kepada Inter Milan. Manchester United masih ingin mengontrol masa depan bintang sepak bola Cile ini. Meskipun, sejak dibeli dari Arsenal pada 22 Januari 2018, ia hanya mencetak lima gol buat Setan Merah pada semua kompetisi.
Alexis Sanchez masih belum terlalu tua, 30 tahun. Mestinya, ia masih bisa bersinar lagi dan membanggakan warga kota kelahirannya, Tocopila, Cile. Di kota ini, sudah berdiri patung dirinya. Pemain sepak bola dengan tinggi badan 1,69 meter ini sudah menjadi kebanggaan warga kota asalnya.
Berkat kiprah Alexis Sanchez mulai dari klub lokal di Cile, Cobroloa, kemudian ke Seri A Liga Italia bersama Udinese, lantas dipinjamkan ke Colo-Colo dan River Plate sebelum dibeli Barcelona, dan kemudian di Arsenal, nama kota Tocopila jadi terkenal.
Tapi, di sisi lain, setelah dilepas Barcelona itu, perjalanan karier Sanchez seperti sebuah grafik yang terus menurun.
Apa yang salah dari Sanchez yang penampilannya di lapangan hijau dideskripkan sebagai pemain yang cepat, kreatif, pekerja keras, dan haus gol ini? Ia digambarkan bisa bermain di posisi mana saja dari lini tengah ke lini depan, yaitu sayap, gelandang serang, false-nine, dan bahkan penyerang tengah alias ujung tombak.
Dalam tubuhnya, mengalir darah sepak bola tim nasional Cile yang pernah disanjung mendiang Johan Cruyff karena tampil menarik dan penuh energi.
Dengan tubuh yang relatif pendek, Alexis Sanches mengingatkan kepada Carlos Tevez dari Argentina yang juga pernah bermain di Manchester United dan juga gagal bersinar di Old Trafford.
Pemain mungil yang cepat, bertenaga, dan ngotot. Tevez dulu bahkan dipersonifikasikan seperti anjing yang terus menggonggong dan menggigit lawan-lawannya jika berada di lapangan. Sanchez mungkin lebih “santun” tapi tetap dengan semangat bermain yang sama.
Jika berada dalam kondisi terbaiknya, pemain seperti Alexis Sanches, Carlos Tevez, dan Edgar “The Pitt Bull” Davids –untuk menyebut beberapa contoh- adalah pemain yang punya daya ledak yang besar di lapangan.
Mungkinkah pelatih Antonio Conte dan lingkungan Inter Milan bisa membuat Alexis Sanchez mendapatkan iklim terbaik buat menjadi begitu ekplosif seperti dulu lagi? Meminjam petikan puisi Aku karya Chairil Anwar yang legendaris itu, tentang binatang jalan yang terus menerjang dari kumpulannya yang terbuang.
Itulah Alexis Sanchez dulu, ketika menarik hati para petinggi Barcelona saat tampil bak kesetanan di Udinese. Ia terus menerjang, tak peduli dan pantang mundur menghadapi tackling-tackling keras dari para bek Seri A Liga Italia.