TEMPO.CO, Jakarta - Sejak Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara (Piala AFF) yang terakhir, memang begitulah kualitas tim nasional sepak bola senior Indonesia. Kekalahan beruntun 2-3 dari Malaysia dan 0-3 dari Thailand pada kualifikasi Piala Dunia 2022 bukan sesuatu yang mengherankan.
Dalam iklim sepak bola yang medioker, butuh sebuah terapi kejutan yang luar biasa untuk mengubah yang medioker itu menjadi sesuatu yang punya daya sengat kuat.
Beto Goncalves, Stefano Lilipaly, Andritany Ardhiyasa dan kawan-kawan sudah tampak berjuang sekuat tenaga. Mereka tentu tak ingin kalah secara menyakitkan seperti itu.
Tapi, sepak bola Indonesia memang mengalami kemampatan yang lama. Beto yang sudah berusaha menjadi warga negara Indonesia yang baik setelah proses naturalisasi adalah seperti Cristian Gonzales yang membela tim Garuda sampai final Piala AFF 2010.
Bayangkan jika ditarik lebih jauh dari soal menang-kalah, bahwa setelah sekian setahun regenerasi pemain, terutama untuk pemain lokal, bisa mengalami kemampatan seperti itu. Tak hanya di lini depan, tapi juga di lini lainnya.
Terakhir, mungkin, pada era Kurniawan Dwi Yulianto ketika masih bermain , kita masih bisa melihat banyak sumber daya penyerang lokal untuk tim nasional. Sekarang, tak ada lagi yang dilirik selain Irfan Bachdim dan segelintir penyerang lain.
Tak ada yang salah dengan kebijakan untuk memanfaatkan para pemain naturalisasi. Tapi, jika hal itu dipertahankan sampai sekarang, artinya pola pembinaan tim sepak bola nasional masih mengandalkan proses kaderisasi pemain secara instan.
Gareth Southgate diberi kesempatan dan membutuhkan waktu cukup untuk menyiapkan skuad para pemain mudanya agar bisa sampai menembus semifinal Piala Dunia 2018.
Di sini, setelah Luis Milla membawa tim Garuda tampil lumayan di Asian Games 2018, karena berbagai alasan, kontinuitas pembinaan tim nasioal senior terputus-putus lagi. Mereka seperti kembali dari awal dengan beban ada di Bima Sakti dan kini Simon McMenemy.
Jika ada yang sinis dan skeptis setelah melihat Indonesia dikalahkan Thailand secara telak di Stadion GBK, Selasa 10 September 2019, lantas mengatakan bahwa sepak bola memang bukan bidang kita, hal itu bisa dipahami.
Sekadar mengingatkan, bahwa prestasi terbaik tim Indonesia sepanjang mengikuti babak kualifikasi Piala Dunia itu terjadi pada 1986 atau 33 tahun lalu.
Indonesia yang saat itu ditangani pelatih lokal, almarhum Sinyo Aliandoe, sudah berhasil melaju ke Babak Kedua Zona B AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) Piala Dunia 1986.
Pada Babak Pertama Zona B AFC, Indonesia berhasil menjadi juara grup dalam pertandingan kandang-tandang melawan Thailand, India, dan Bangladesh.
Jika berhasil mengalahkan Korea Selatan, Bambang Nurdiansyah dan kawan-kawan bakal semain dekat lolos ke Meksiko. Tapi, Banur cs akhirnya harus kalah secara terhormat 0-2 di Seoul dan 1-4 di GBK.
Simon McMenemy berhak dan pantas menegaskan ia masih layak menangani tim nasional Indonesia senior di kualifikasi Piala Dunia 2022.
Tapi, jika kelak jejak yang ditinggalkan Luis Milla, Simon McMenemy, dan mengandalkan proses naturalisasi pemain seperti Cristian Gonzales, Beto, dan kawan-kawan tidak kunjung lebih baik dari torehan Sinyo Aliandoe dan pemain lokal seperti Bambang Nurdiansyah cs di kualifikasi Piala Dunia, ada baiknya terapi kejutan diberlakukan untuk menepis pandangan skeptis soal sepak bola Indonesia yang medioker ini.
Pengurus PSSI yang baru perlu merombak pola pembinaan sepak bola Indonesia secara menyeluruh. Atau, merera tidak tanggung-tanggung dalam mendatangkan pelatih mancanegara yang sangat berkaliber.
Filipina mencapai semifinal Piala AFF 2018 dengan mendatangkan Sven-Goran Eriksson sebagai konsultan. Korea Selatan mendatangkan Guus Hiddink yang membawa mereka mencapai semifinal 2002. Tim nasional PSSI dulu nyaris lolos ke Olimpiade 1976 di bawah asuhan Wiel Coerver.