TEMPO.CO, Jakarta - Mauricio Pochettino tiba-tiba saja sekarang lagi gencar digosipkan akan dipecat sebagai manajer Tottenham Hotspur ketika Liga Primer Inggris 2019-2020 baru memasuki tujuh sampai delapan pertandingan.
Seperti kiasan klasik, yaitu panas setahun dihapuskan hujan sehari. Membawa Tottenham mencapai final Liga Champions Eropa untuk pertama kali dalam sejarah kehidupan klub dari London rasanya baru saja terjadi kemarin. Dan, itu adalah jasa pelatih yang juga mantan pemain dari Argentina ini.
Musim lalu –mungkin sebagian melupakan atau sengaja menghapus memori itu-, Pochettino, mantan pemain bek Espanyol dan Newell’s Old Boys yang kini berusia 47 tahun, membawa Tottenham dengan skuad yang tak terlalu bertabur bintang –kecuali Harry Kane- mencetak sensasi di Liga Champions.
Ketika menghadapi sang primadona musim lalu, Ajax Amsterdam pada semifinal, mereka sudah kalah pada pertemuan pertama di London dan ketinggalan di Amsterdam. Tapi, Tottenham mampu membalikkan keadaan, lolos ke final, sebelum dikalahkan Liverpool.
Tapi, kini Tottenham sudah begitu cepat terjatuh dalam krisis. Dalam dua laga terakhir, mereka digilas Bayern Munich 7-2 pada pertandingan kedua fase grup Liga Champions dan kemudian dikalahkan Brighton 3-0 di Liga Primer Inggris.
Keboboolan 10 gol dalam dua pertandingan terakhir. Rasanya sulit diterima dari Tottenham yang sudah dibawa Pochettino untuk terus berada di dekat tangga juara liga beberapa musim.
Apa yang terjadi sebenarnya? Pochettino adalah pelatih dengan reputasi bagus. Ia meninggalkan klub La Liga Spanyol yang juga dibesakannya sebagai pemain, Espanyol, untuk menerima tawaran menangani Southampton di Liga Primer Inggris.
Pochettino adalah manajer asal Argentina kedua di Liga Inggris setelah pahlawan Piala Dunia 1978, Osvaldo Ardiles. Ia sukses mengangkat Southampton sebelum menerima tawawan Tottenham Hotspur lima tahun lalu.
Tapi, ketika waktu terus berjalan, Pochettino mulai sering mengeluh bahwa kewenangannya sebagai manajer tim semakin dibatasi oleh direksi Tottenham Hotspur di bawah kepemimpinan Daniel Levy. Hal itu terutama, dalam kebijakan pemilihan pemain baru yang akan dibeli.
Levy, pengusaha Inggris keturunan Yahudi, adalah sahabat bagi Pochettino. Tapi, pada saat bersamaan, Levy bagi Pochettino adalah bos yang sama sekali tak bisa ditawar soal otoritasnya.
Pochettino sudah sering bilang ia sekarang sebenarnya tak lagi punya kuasa penuh sebagai manajer, terutama dalam soal kepentingan meremajakan pasukannya.
Dan, selain para pemain muda di tim nasional Inggris bersama Harry Kane, pemain yang sudah lama berada dalam Tottenham ibarat bom waktu buat Pochettino. Christian Eriksen, Jan Vertonghen, dan Toby Alderweireld misalnya. Mereka dalam tahun terakhir kontraknya dan masih belum jelas apakah bisa dipertahankan atau Tottenham sudah siap membeli pemain baru yang sekelas dengan mereka.
Kebijakan besaran gaji yang diterapkan Levy juga dikabarkan semakin meresahkan para pemain Tottenham. Ada isu skuad pemain merasa kian tidak dipercaya, dibayar rendah, dan terlalu banyak bekerja dibandingkan enam rival teratas mereka di Liga Primer Inggris. Sebagian pemain pun mulai merasa kesal terhadap Pochettino.
Pengetahuan mereka tentang gaji Daniel Levy sebagai ketua klub senilai enam juta pound sterling hanya membuat jengkel sebagian para pemain Tottenham.
Ada ketidapuasan Pochettino terhadap penggerusan wewenangnya yang sudah sering diungkapkan ke media sejak musim lalu. Ini mengingatkan hal yang sama dilakukan Antonio Conte sebelum akhirnya ia hengkang dari Chelsea.
Ketidakpuasan itu kabarnya kemudian mempengaruhi antusiasme Pochettino dalam menangani para pemain Tottenham pada sesi-sesi latihan.
Bibit keretakannya sebenarnya sudah terjadi seusai pertandingan final Liga Champions musim 2018-2019, setelah Tottenham dikalahkan Liverpool di Madrid.
Saat itu Mauricio Pochettino dikabarkan marah. Ia lantas lebih memilih terbang ke Barcelona daripada pulang ke London bersama rombongan tim Tottenham Hotspur.
Mauricio Pochettino, Antonio Conte, Jose Mourinho, dan mungkin juga Ole Gunnar Solskjaer sebenarnya adalah manajer pelatih yang berkualitas. Tapi, dalam persaingan sepak bola modern yang begitu kompetititif, mereka butuh stok pemain utama yang banyak. Dan, inilah yang sering tak bisa dipenuhi direksi tim atas dasar efisiensi semata.