TEMPO.CO, Yogyakarta - Laskar Mataram PSIM Yogyakarta dipastikan tetap menghuni kasta kedua musim kompetisi 2020 pasca gagal melenggang ke babak delapan besar di musim Liga 2 2019.
Anak asuh pelatih Liestiadi itu mengakhiri putaran kedua laga dengan hasil minor yakni kalah 2-3 dari tamunya Persis Solo di Stadion Mandala Krida Senin 21 Oktober 2019.
Setali tiga uang. Meski dalam laga berjuluk Derby Mataram itu Persis Solo menang, namun juga tak lolos ke babak delapan besar sehingga menemani PSIM tetap berlaga di Liga 2 2020 nanti.
Bedanya hanya Persis secara klasemen lebih baik dari PSIM, yakni di peringkat lima dengan total 30 poin dan PSIM di peringkat tujuh dengan total 27 poin.
Laga bertensi tinggi itu menyisakan luka karena ditutup dengan aksi rusuh sejumlah oknum suporter tak bertanggung jawab. Puluhan orang ditangkap pasca terjadinya rusuh oknum suporter yang berwujud intimidasi, pelemparan, perusakan hingga pembakaran mobil dinas polisi itu.
Klub PSIM pun hari ini Selasa, 22 Oktober 2019 mengeluarkan sikap resminya yang disampaikan melalui ofisial media klub itu, Ditya Fajar.
"Terkait kejadian pada pertandingan terakhir babak pendahuluan Liga 2 2019, antara PSIM Yogyakarta dan Persis Solo, di Stadion Mandala Krida, 21 Oktober, pihak PSIM turut menyesal dan kecewa," ujar Ditya seperti tertulis juga lewat pernyataan yang disampaikan ke publuk melalui akun resmi media sosial klub itu.
PSIM menyadari bahwa ada perasaan kecewa dari suporter karena musim ini tak berakhir sesuai harapan, tapi bagaimana pun tidak ada tempat untuk vandalisme yang nantinya bisa merugikan klub ini.
"Hal yang paling instan terasa menyakitkan adalah terlukanya beberapa suporter, termasuk anak kecil, wanita, dan orang tua, setelah kekacauan terjadi karena pihak kepolisian menembakkan gas air mata," ujar Ditya.
PSIM memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang merasa dirugikan karena kekacauan kemarin, baik itu suporter, media, pihak keamanan, hingga warga sekitar stadion.
"Kini saatnya kita semua merenung dan sadar bahwa kejadian tersebut tentunya akan berujung merugikan klub, dan kita semua harus bisa menerima itu sebagai evaluasi diri serta akibat dari yang kita perbuat," ujarnya.
PSIM mengakui memang gagal mewujudkan harapan pendukung ke Liga 1 musim ini. Laskar Mataram juga tidak akan mencari alasan maupun pembenaran atas kegagalan ini karena itu membuat mereka tidak akan mawas diri dan sulit untuk maju ke depannya. Namun yang pasti manajemen sudah berupaya serius dalam melakukannya.
"Sekali lagi, mohon maaf atas segala kekecewaan pada musim ini, dan akhir pertandingan yang harus selesai dengan kejadian yang tidak kami inginkan. Mari semua merenung, dan mengevaluasi diri, supaya tak ada sesal lainnya di kemudian hari. Demi nama klub ini, demi PSIM Yogyakarta," ujar Ditya.
Kericuhan suporter di penghujung laga itu juga menjadi sorotan Raja Keraton sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Orang nomor satu di DIY itu menyatakan rusuh suporter itu mau tak mau ikut mencoreng citra Kota Yogyakarta sebagai kota yang ramah terhadap siapapun.
"Saya tidak mengerti, katanya Yogyakarta itu kota berbudi luhur dan orangnya sopan sopan tapi kenapa kok keluarnya kekerasan. Alasannya apa,"ujarnya.
Menurut Sultan, jika dalam sepakbola yang digelar di Yogya suporter selalu rusuh, maka lebih baik tidak ada izin dalam pertandingan sepak bola lagi ke depan di Yogya.
Sultan menyerahkan sepenuhnya evaluasi penyelenggaraan sepak bola di kota Yogyakarta kepada pemerintah kota setempat karena hal itu masuk dalam wewenang mereka.
PRIBADI WICAKSONO