TEMPO.CO, Jakarta - Keberuntungan tidak sering datang dua kali. Tapi, Leicester City mungkin akan mengalaminya di bawah asuhan manajernya yang terbaru, Brendan Rodgers.
Empat tahun lalu, keberhasilan Claudio Ranieri menjadikan Leicester sebagai juara Liga Primer Inggris begitu mengejutkan. Sebuah dongeng keberuntungan.
Dengan materi pemain yang tidak terlalu gemerlap, Ranieri membesut Jamie Vardy dan kawan-kawan tampil militan dan menggasak para klub raksasa seperti Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City untuk merebut puncak klasemen liga.
Setelah itu, kisah Ranieri di King Power Stadium bagaikan panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari. Setelah juara pada musim berikutnya, klub berjuluk The Foxes itu melorot drastis dan klimaknya, Ranieri, sang pahlawan dan pelatih kawakan asal Italia itu dipecat.
Sejak itu, Leicester City selama empat tahun seperti terkubur dalam dongengnya sendiri, meski tidak sampai terdegradasi dari Liga Primer Inggris.
Hingga kemudian datanglah Brendan Rodgers, pria 46 tahun dari Irlandia Utara yang terpental dari kursi manajer Liverpool, setelah menangani The Reds ini sepanjang tiga tahun (2012-2015) dan kemudian menangani Glasgow Celtics 2016-2019.
Rodgers, yang balik ke Liga Primer Inggris pada 26 Februari 2019, pada awalnya melakukan start buruk. Ia membuat Leicester City dikalahkan mantan klubnya, Watford, 2-1.
Tapi, selanjutnya, lihatlah mereka dalam posisi termutakhir, yaitu pekan ke-10 Liga Primer Inggris 2019-2020. Rodgers membuat The Foxes ini ada di urutan ketiga dengan meraih nilai 20 dan berjarak hanya dua angka dari Manchester City dan delapan angka dari Liverpool di puncak klasemen.
Dalam pekan ke-10 Liga Primer Inggris 2019-20, Sabtu, 26 Oktober 2019, Rodgers menjadikan Leicester City mencatat kemenangan terbesar sebuah tim pada partai tandang sepanjang sejarah Liga Primer Inggris, yaitu 9-0 melawan Southampton di Stadion St Mary’s.
“Dalam pengertian intensitas dari tekanan kami dan sirkulasi bola yang kami lakukan, saya sangat bangga dengan tim ini,” kata Rodgers kepada Sky Sports setelah pertandingan melawan Southampton itu.
Kalau melihat Liverpool sekarang begitu sukses di tangan manajer Jurgen Klopp, dengan metode gegenpressing yang tersohor itu, ada kemiripan gaya permainan mereka. Terus menekan dan mengalirkan bola dengan pergerakan terus-menerus.
Intensitas menjadi salah satu kunci Brendan Rogers dalam melatih dan mendekati pemain satu per satu. Dulu, Liverpool agak menahan diri untuk tak memberikan uang berlebih kepada Rodgers buat membeli pemain yang diinginkan untuk skema permainan yang diinginkannya.
Ketika Klopp datang, direksi Liverpool tak mau lagi melakukan kesalahan yang sama sehingga memberikan dana besar buat pelatih asal Jerman itu untuk merekrut pemain sesuai dengan gaya gegenpressing yang dikehendakinya.
Leicester City, yang dimiliki konglomerat asal Thailand, keluarga dari mendiang Vichai Srivaddhanapraha, kini juga semakin maju meski belum seroyal Liverpool dalam bursa transfer.
Tapi, mengingat kemampuan dan pengalaman jatuh-bangun Brendan Rodgers selama ini di Liga Primer Inggris dan mungkin juga rasa“dendamnya” kepada Liverpool, pria Irlandia Utara ini punya potensi untuk menciptakan seri dongeng kedua di Leicester City dalam Liga Primer Inggris musim ini.