TEMPO.CO, Jakarta - Pada era 1974-1983, ketika Liga Inggris masih didominasi gaya permainan kick and rush, yaitu mengalirkan bola secepatnya ke depan gawang lawan agar terjadi kemelut dan tercipta gol, pelatih Bob Paisley menerapkan gaya yang berbeda di Liverpool FC.
Craigs Johnston, Alan Kennedy, Graeme Souness, Kenny Dalglsih, Kevin Keegan, dan Ian Rush –untuk menyebut beberapa contoh pemain legendaris Liverpool saat itu- membuat The Reds bermain dengan bola-bola mendatar.
Tak ada hiruk-pikuk bola lambung dan kemelut di gawang, tapi umpan-umpan rapi menyusur tanah dalam formasi 4-4-2 racikan Bob Paisley di Liverpool yang legendaris itu.
Legenda Liverpool, Ian Rush, dan tunangannya, Carol Anthony. (twitter/@carolanthony_)
Dengan formasi 4-4-2 dan jalinan umpan tersebut, Paisley mewariskan ilmu yang membuat Liverpool berjaya di Inggris dan Eropa sampai Kenny Dalglish membawa The Reds juara divisi tertinggi Liga Inggris terakhir kali pada 1989-1990 atau dua tahun sebelum kompetisi ini mengalami revitalisasi dan berubah nama menjadi English Premiere League atau Liga Primer Inggris.
Kini setelah puasa gelar juara liga domestik hampir 30 tahun, Liverpool kedatangan tokoh reformis seperti sosok Bob Paisley, yaitu Jurgen Kloop. Pria Jerman yang sebelumnya membawa Borussia Dortmund menggoyang dominasi nyaris abadi dari Bayern Munich di Bundesliga Jerman.
Jurgen Klopp membawa prinsip presisi, faktor keakuratan dalam taktik gegenpressing yang dibawanya dari Dortmund.
Setiap kali tim kehilangan bola, mereka harus secepatnya merebut kembali, dan bukan berlari ke belakang untuk menggalang barikade pertahanan. Lantas begitu kembali menguasai bola, pergerakan para pemain masing-masing harus tepat pada waktu yang diinginkan.
Orkestrasi Jurgen Klopp dengan pressing dan timing yang tinggi itu membutuhkan stamina yang luar biasa dan juga naluri kebersamaan yang tinggi. Dan, itulah sebabnya, gegenpressing Klopp sering gagal dimainkan secara benar oleh para pemain Liverpool pada satu atau dua musim perdananya di Anfield.
Setelah masa adaptasi dan bongkar pasang pemain, Jurgen Klopp yang bekerja di Liverpool sejak 2015 ini baru bisa menikmati hasilnya yang mendekati “kebenaran” pada musim lalu, 2018-2019.
Musim lalu, Liverpool juara Liga Champions lagi dan hanya kalah satu poin dari Manchester City dalam perebutan gelar juara Liga Primer Inggris, dalam pacuan nilai yang fenomenal, 97-98.
Apa yang terjadi pada Minggu malam, 10 November 2019, di Anfield, dengan kemenangan 3-1 Liverpool dari Manchester City, tak terkalahkan dalam 12 laga perdana, dan unggul delapan poin di puncak klasemen, tampaknya mengarah kepada jalan Jurgen Klopp untuk membawa The Reds mendominasi lagi seperti era Paisley dan King Kenny cs.
Puasa gelar juara Liga Inggris hampir 30 tahun buat Liverpool tampaknya akan diakhir oleh Jurgen Klopp dengan keandalan sentuhan kepelatihannya tersebut.
Apa yang terjadi pada Minggu malam lalu itu adalah demontrasi keakuratan permainan Jordan Henderson, Fabiano, Sadio Mane, Mohamed Salah, Roberto Firmino, Virgil van Dijk, dan kawan-kawan yang disanjung Manajer Manchester City, Pep Guardiola.
Setiap aspek permainan Liverpool dibangun dengan intensitas presisi tingkat tinggi. Hal itu tak cuma dalam soal melakukan tendangan penjuru, tendangan bebas, umpan-umpan terobosan, tapi juga lemparan bola ke dalam lapangan yang dilakukan pemain setelah bola melewati kedua sisi garis permainan.
Guardiola mengatakan Liverpool mengawali serangannya dari kedua bek sayapnya, Trent Alexander-Arnold dan Andy Robertson, untuk membuka ruang.
Guardiola juga bercerita bagaimana para pemain Liverpool merangsek ke kotak penalti dengan pengaturan waktu yang pas. “Tidak hanya Mane, Salah, dan Firmino,” kata Pep tentang tiga penyerang Liverpool. “Tapi juga Henderson dan Georginio Wijnaldum. Mereka datang pada tempo yang sama.”
Pep Guardiola juga mengaku terkesima dengan cara Liverpool ketika melakukan transisi ketika serangannya dipatahkan lawan dan kemudian melancarkan serangan balik. “Mereka luar biasa,” katanya.
Tapi, bukan hal umum sebuah tim bisa terus-menerus begitu sempurna. Apalagi, kompetisi Liga Primer Inggris masing panjang. Masih ada 26 pertandingan lagi untuk masing-masing tim sampai Mei-Juni 2020.
Liverpool mungkin masih bisa terpeleset lagi seperti ketika harus bersusah-payah menyamakan kedudukan 1-1 melawan Manchester United pada awal musim ini.
Atau, mungkinkah musim ini Jurgen Klopp bisa membuat Liverpool tak bisa dikalahkan lagi seperti dilakukan Arsenal Wenger di Arsenal 2003-2004? Saat itu The Gunners tak terkalahkan sepanjang satu musim!