Ada yang membuat Klopp berubah. Tiga pekan sebelum menyatakan pensiun dari sepak bola pada 1998, dia kehilangan ayahnya yang meninggal akibat kanker hati.
Kematian yang membuatnya tersentuh dan berkesimpulan bahwa setiap orang berada dalam sebuah rencana Tuhan. Selanjutnya, dia pun menjadi religius.
Ungkapan tentang Tuhan, ikut terbawa dalam kesehariannya, termasuk saat menggelar konferensi pers. Begitu pun saat di ruang ganti.
Ketika bersiap untuk berlaga di Anfield melawan Barcelona dalam leg kedua babak semifinal Liga Champions, Klopp memompa semangat para pemainnya. Peluang mereka memang berat. Di Camp Nou, mereka tertinggal 0-3.
“Sebelum pertandingan, saya katakan kepada mereka, tidak mungkin," kata Klopp. “Tapi kita memiliki peluang.”
Klopp memiliki filosofi yang serupa dengan pendahulunya, Bill Shankly, yang juga menyelipkan nilai religiositas dalam menangani timnya. “Selama bersama dan bekerja keras, saat kesempatan datang kita bisa meraihnya,” kata Klopp berapi-api.
Hasilnya, mereka menang 4-0. Lalu di final, mereka menggusur Tottenham Hotspur dengan kemenangan 2-0.
Nun di bawah mistar gawang, tiap kali Liverpool mencetak gol–lewat Mohamed Salah dan Divock Origi–Alisson menengadahkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya ke langit.
Firmino pun tak henti-henti memandang ke arah langit. “Saya merasa malam ini, Tuhan bersama kami,” katanya selepas mengangkat trofi Liga Champions di Wanda Metropolitano, Madrid, Juni lalu.
Perjalanan pada musim ini pun tentu saja mereka jalani dengan memberikan usaha sebaik-baiknya di lapangan dan menyerahkan semua keputusan kepada Sang Penentu.
DAILYMAIL | THE ATHLETICS | IRFAN B