TEMPO.CO, Jakarta - Pep Guardiola yang memimpin Manchester City menghadapi Real Madrid pada laga pertama 16 besar Liga Champions di Bernabeu dinihari nanti, Kamis 27 Februari 2020, pertama kali bergabung ke City pada 1 Februari 2016.
Tanggal itu adalah masuk paruh kedua musim kompetisi 2015-2016 dan terjadi sensasi di Liga Primer Inggris, yaitu Leicester City menjadi juara dengan tidak berbasis pada pentingnya dominasi penguasaan bola (ball possession).
Apa yang dilakukan pelatih asal Italia, Claudio Ranieri, di Leicester City saat itu jelas berlawanan dengan filosofi yang dipegang Pep Guardiola dari ajaran gurunya, legenda sepak bola Belanda yang kini sudah almarhum, Johan Cruyff.
Tapi, hal itu tidak menggoyahkan iman Pep Guardiola kepada pentingnya penguasaan bola dalam permainan timnya. “Musim ini, untuk menjadi juara,” kata Guardiola, “Saya membutuhkan timku melakukan penguasaan bola.”
“Anda bisa kalah dengan mementingkan penguasaan bola. Tapi, anda akan lebih banyak kalah dengan kehilangan terhadap penguasaan bola,” Guardiola melanjutkan.
Pada musim pertamanya di Manchester City, 2016-2017, Pep Guardiola gagal mengantarkan timnya menjuarai Liga Primer Inggris dan gagal memenangi kejuaraan lainnya.
Tapi, Guardiola bergeming.
“Kita harus melakukan apa yang kita yakini. Saya meyakini pentingnya penguasaan bola. Saya tahu semua ingin meniru cara permainan tim yang juara. Tapi, dalam sepak bola dan olahraga, tidak ada yang bisa menang untuk selamanya,” katanya.
Kita semua tahu, Manchester City kemudian juara Liga Primer Inggris dua musim terakhir, 2017-18, 2018-19. Kita juga semua tahu, sekarang City sudah ketinggalan jauh 22 poin dari Liverpool di puncak klasemen Liga Primer. Hanya keajaiban yang bisa menahan Liverpool untuk menjadi juara, karena hanya butuh empat kemenangan lagi dalam 11 laga tersisa.
Sejak meninggalkan Barcelona dalam posisinya sebagai pelatih, Pep Guardiola juga belum bisa lagi mempersembahkan trofi Liga Champions kepada Bayern Munich dan kini Manchester City. Bahkan, City di tangannya belum pernah bisa lolos dari perempat final.
Tapi, Pep Guardiola bergeming. Mantan pemain gelandang bertahan Barcelona, Spanyol, dan Catalonia berusia 49 tahun ini seperti memahat dalam hatinya sebuah kepercayaan kepada filosofi ball possession, possession football, yang didapatnya dari Johan Cruff.
Sebuah struktur yang disebutnya sebagai “katedral sepak bola yang indah” yang sudah dibangun setahap demi setahap oleh Johan Cruyff sejak pertama kali datang ke Barcelona pada periode 1970-an.
“Timku bermain sepak bola dengan cara yang saya yakini seharusnya dimainkan, tapi berbasis dari yang datang sebelumnya, dari guruku, dari Cruyff.”
Ketika masih menangani Barcelona, Guardiola suka memainkan formasi 4-3-3. Pindah ke Bayern, ia melakukan variasi dengan beberapa formasi berbeda.
Tapi, ada yang tidak berubah, yaitu penguasaan bola, umpan-umpan pendek, penempatan posisi secara tepat dibarengi pergerakan yang efektif, dan menempatkan pelari cepat dengan kemampuan mencetak gol di kedua sayap.
Soal kecepatan lari ini, Pep Guardiola pernah diejek Johan Cruyff ketika Pep masih menjadi pemain junior di Barcelona. “Kamu berlari lebih lambat dari nenek saya,” kata maestro total football dari Belanda itu.
Dengan keyakinan seperti itu, Pep Guardiola mempertaruhkan reputasinya sebagai manajer di Barcelona, Bayern Munich, dan kini Manchester City untuk menang atau kalah dengan filosofi sepak bola yang sama.