TEMPO.CO, Jakarta - Kehadiran Pep Guardiola di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol, dinihari nanti, Kamis 27 Februari, tak akan cuma sebatas seorang manajer Manchester City yang memimpin pemainnya melawan Real Madrid asuhan Zinedine Zidane pada laga pertemuan pertama babak 16 besar Liga Champions Eropa.
Sosok Pep Guardiola buat Madrid dan Spanyol pada dinihari nanti akan lebih dari sekadar urusan olahraga sepak bola.
Tentang citra terhadap sosok pria yang identik dengan klub sepak bola Barcelona buat waega Madrid dilukiskan dengan bagus oleh Jorge Valdo dalam tulisannya di The Atletic baru-baru ini.
Jorge Valdano, mantan pemain, pelatih, direktur olahraga dan general manager di Real Madrid, adalah seorang penggemar berat Pep Guardiola.
Ketika Valdano menulis artikelnya pada Mei 2019 yang memuji Guardiola, setelah Pep membawa Manchester City memborong tiga gelar juara di Liga Inggris musim 2018-2019, mantan bintang tim nasional Argentina seangkatan Diego Maradona ini mengingatkan ada tiga kata yang akan bisa menjadi musuh Guardiola: “los madridistas, los espanolistas, los resultadistas.”
Resultadistas adalah mereka yang menghargai hasil pertandingan sepak bola di atas segalanya, termasuk soal gaya bermain. Dua lainnya seharusnya berbicara sendiri.
Bahkan, sejak menjadi pemain muda di Barcelona, Pep Guardiola telah menjadi musuh Real Madrid. Meskipun sudah tidak pernah membawa tim ke Stadion Santiago Bernabeu selama hampir enam tahun, fakta bahwa Pep Guardiola menjadi musuh Real Madrid sejak ia junior, tidak berubah.
Dukungan Pep Guardiola secara sangat terbuka untuk para tahanan politik Catalonia, wilayah kelahirannya 49 tahun lalu di Santpedor (kota di tengah kawasan Catalonia, selama Pep menjadi Manchester City, akan memastikannya menjadi pusat pemberitaan koran-koran di ibukota Spanyol seusai laga dinihari nanti, dan bukan hanya di halaman olahraga.
Adapun soal resultaditas ini juga yang menjadi musuh Pep Guardiola secara filosofis dalam memandang permainan sepak bola.
Mantan pemain gelandang bertahan Barcelona, Spanyol, dan Catalonia ini seperti memahat dalam hatinya sebuah kepercayaan kepada filosofi ball possession, possession football, yang didapatnya dari Johan Cruyff.
Mengandalkan teknik tinggi untuk menguasai bola selama dan seefektif mungkin. Lantas umpan-umpan pendek diikuti penempatan posisi yang tepat disertai unsur kejutan dari pergerakan cepat di kedua sayap. Itu adalah prinsip yang dipegang teguh Pep Guardiola sejak menangani Barcelona, Bayern Munich, dan kini Manchester City.
“Anda bisa kalah dengan mementingkan penguasaan bola. Tapi, anda akan lebih banyak kalah dengan kehilangan terhadap penguasaan bola,” kata Guardiola.
“Kita harus melakukan apa yang kita yakini. Saya meyakini pentingnya penguasaan bola. Saya tahu semua ingin meniru cara permainan tim yang juara. Tapi, dalam sepak bola dan olahraga, tidak ada yang bisa menang untuk selamanya,” Guardiola melanjutkan.
Tapi, dengan bersikap sebagai pemeluk teguh keyakinan possession football yang teguh seperti itu, Pep Guardiola hanya bisa membawa Barcelona memenangi La Liga Spanyol dan Liga Champions Eropa. Adapun di Bayern Munich dan Manchester City, hanya bisa trofi domestik: Bundesliga Jerman dan Liga Primer Inggris.
Begitu Guardiola hengkang dari Bayern Munich, legenda sepak bola Jerman dan Bayern, Karl-Heinz Rummenigge, mengatakan sebagaimana dikutip The Guardian beberapa waktu lalu sebagai berikut, “Sepak bola itu harus ada gol. Yang terjadi pada Pep Guardiola, bola yang harus ditendang ke gawang lawan malah dioper lagi ke belakang.”
Jose Mourinho, ketika membawa Inter Milan menyingkirkan Barcelona asuhan Pep Guardiola sebelum final Liga Champions, berkata lebih sinis lagi soal prinsip sepak bola Pep Guardiola. “Apakah tim yang menguasai bola sepanjang pertandingan dan memainkan sepak bola yang indah, meskipun dia kalah tetap akan menjadi pemenang?”