TEMPO.CO, Jakarta - Alphonso Davies menjadi sorotan setelah berhasil membawa Bayern Munchen melumat Chelsea dengan skor 3-0 pada laga Liga Champions Rabu dini hari 26 Februari 2020. Meski tak mencetak gol, pemuda berusia 19 tahun itu dianggap sebagai perusak lini belakang The Blues pada laga tersebut.
Dibalik kepiawaiannya mengolah si kulit bundar, Davies ternyata memiliki kisah memilukan di masa kecilnya. Kedua orang tuanya, Victoria dan Debeah Davies awalnya tinggal di Liberia, Afrika.
Namun saat Victoria mengandung Alphonso, mereka harus pergi meninggalkan kampung halamannya karena perang sipil.
"Anda harus berjalan melewati mayat-mayat untuk mencari makanan," kata Victoria menceritakan kondisi di Liberia saat itu.
"Itu sangat sulit, itu sangat berbahaya," ujar sang ayah. "Sangat sulit untuk bertahan hidup di sana karen satu-satunya cara untuk bertahan terkadang adalah anda harus terus menenteng senjata. Dan kami tak memiliki minat untuk menembakkan senjata itu."
Kondisi perang saudara itu membuat Victoria dan Debeah harus hengkang ratusan mil menuju kamp pengungsian di Kota Buduburam, di bagian timur Ghana. Di sanalah akhirnya Victoria melahirkan Alphonso kecil.
Di sana Alphonso menghabiskan lima tahun masa kecilnya sebelum akhirnya Victoria dan Debeah terbang ke Kanada. Keluarga kecil itu mendapatkan hak suaka dari Kanada dan akhirnya menetap di kota kecil bernama Edmonton.
Alphonso memulai karir sepakbolanya di kota itu. Di sana dia masuk ke dalam program FreeFootie, progam untuk anak-anak kurang mampu yang memiliki kemampuan olahraga tinggi.
Dari program itulah bakat Alphonso kemudian tercium Victoria Whitecaps FC, klub Kanada yang bermain di Liga Amerika Serikat MLS.
Alphonso mendapatkan kesempatan bermain sepakbola secara profesional di tim cadangan klub tersebut pada usia 15 tahun. Pada usia 15 tahun 6 bulan dia mendapat kesempatan pertama menjadi pemain di utama Victoria. Hal itu menjadikan dia pemain termuda kedua yang pernah bermain di Liga Amerika.
Pelatih Victoria, Carl Robinson, menyatakan bahwa keputusannya memberikan Alphonso kesempatan karena si pemain memiliki kemampuan luar biasa.
"Alphonso memiliki semua atribut yang anda ingin dimiliki oleh pemain top: Dia memiliki tinggi 6 kaki 1 inchi, tubuhnya atletis, dia bisa berlari sepanjang hari dan memiliki kecepatan yang fenomenal," kata eks pemain Liga Inggris bersama Wolves, Sunderland dan Norwich itu.
"Saya ingin dia mendapatkan suasana di tim utama karena saya melihat dia sebagai pemain yang sangat energik dan selalu lapar, pemain yang bisa berhadapan dengan pemain senior tetapi harus menjadi lebih tangguh dengan cepat," kata Robinson.
Robinson menilai saat itu kelemahan Alphonso adalah tubuhnya yang terlalu kurus. Namun, menurut dia, hal itu bisa diatasi si pemain dengan kemampuannya mengolah si kulit bundar.
"Dia sangat kurus dan ringan tetapi ketika dia mengalahkan satu atau dua pemain lawan, pelatih lain melihat potensi yang sama seperti yang saya lihat."
Kemampuan Alphonso bermain bola rupanya membuat Kanada tak mau kehilangan dia. Alhasil, pada 2018 Alphonso mendapatkan kewarganegaraannya dan berhasil masuk ke Timnas Kanada pada usia 16 tahun. Dia merupakan pemain termuda yang pernah membela Timnas Kanada.
Soal kemampuan Alphonso, Robinson yang berasal dari Wales menyamakannya dengan Robbie Keane dan Gareth Bale, keduanya merupakan pesepakbola asal Wales. Menurut dia, Alphonso memiliki mental seperti Keane yang tak pernah kenal menyerah.
"Tetapi karakter permainannya seperti Gareth Bale," kata Robinson.
Kini Alphonso bukan lagi pemain Victoria Whitecaps. Dia telah menjadi pemain muda luar biasa yang bermain untuk Bayern Munchen. Robinson pun tak menyesali telah melepas pemainnya itu ke Munchen. Alasannya, bermain di klub besar seperti Bayern Munchen merupakan mimpi Alphonso sejak dulu.
"Dia telah membuktikan bahwa impian bisa menjadi kenyataan," kata Robinson
THE SUN