TEMPO.CO, Jakarta - Dari jarak dekat di Stadion Bern, Swiss, dalam Euro 2008, Marco van Basten berkacak pinggang di tepi lapangan kawasan kubu tim nasional sepak bola Belanda. “Buka! Buka ruang!” Kira-kira begitu terjemahan dari gerakan sepasang tangannya dan teriakannya ke arah para pemainnya yang sedang menghadapi Thierry Henry dan kawan-kawasan dari tim nasional Prancis asuhah Raymond Domenech.
Sebuah partai big match dalam Euro 2008. Sejak pagi hari jalanan di Kota Bern sudah dipenuhi mayoritas suporter Belanda dengan formasi big band dan lautan Oranye mereka dan suporter Les Bleus yang lebih sedikit. Sebuah pemandangan yang kemungkinan bakal sulit dilihat lagi, selama belum ditemukan vaksin untuk virus corona, termasuk ketika Euro 2020 dimundurkan pergelarannya ke 2021.
Karantina wilayah, menjaga jarak fisik dalam kehidupan sosial, dan segala prosedur kesehatan dalam rangka memerangi pandemi virus corona ini kemungkinan juga tak akan membuat ada peristiwa seperti gerbong-gerbong kereta dari Gdanks menuju Warsasa dipenuhi suporter tinggi-besar Polandia dalam Euro 2012 berteriak-teriak, “Polska! Polska!” dengan bau anggur dari mulutnya dan penulis “terjebak” di dalam gerbong itu selama lima jam lebih.
Permainan sepak bola semakin modern kian menekankan pressing. Tekanan, himpitan, dan memenuhi ruang untuk membuat lawan terintimidasi, terhimpit, dan merasa sesak. Itulah juga yang terjadi dengan melubernya suporter Oranye di Bern dan gegap-gempita suporter Polska yang berjejal di deretan gerbong-gerbong kereta api dari Gdanks menuju Warsawa.
Tapi, dalam suasana pressing yang menekan seperti itu, Marco van Basten masih berkeras tak mau para pemainnya menyapu bola dan menendang bola jauh-jauh agar tekanan itu menghilang.
Untuk pemain sekeras dan sepragmatis bek “The Cannibal” Khalid Boulahrouz di Euro 2008 itu, Basten meminta untuk terus memainkan bola, umpan satu-dua, ketika dihimpit Thierry Henry dan kawan-kawan.
Aliran bola dalam kontrol yang ketat –termasuk dalam soal teknik keeping-, ketahanan ketenangan di bawah terorlawan, dan pergerakan pemain akan melahirkan sebuah pola seperti air yang selalu menemukan pintu untuk menuju tempat baru. Dan, itulah makna dari teriakan Marco van Basten di Stadion Bern itu, “Buka. Buka ruang,” katanya.
Belandang menang dalam pertandingan akbar itu, 4-1. Tapi, masih dengan pakaian lengkap berjas dasi di tepi lapangan, Marco van Basten harus berjongkok dengan wajah murung, ketika Belanda dijegal Rusia asuhan Belanda lain, Guus Hiddink, dalam perempat final Euro 2008 melalui perpanjangan waktu.
Tapi, bahwa sepak bola harus dimainkan dengan cita rasa tinggi seperti yang diminta Marco van Basten di Bern, Swiss, dalam Euro 2008 itu kemungkinan akan menemukan momentumnya lagi pada sepak bola situasi baru akibat adanya pandemi virus corona yang dahsyat ini.
Media BBC edisi Rabu ini, 13 Mei 2020, memberitakan tackling akan dilarang dalam latihan-latihan perdana tim-tim yang akan mengawali latihannya menyambut kembali harapan Liga Primer Inggris bisa dilanjutkan lagi.
Lapangan akan disemprot disinfektan lebih dulu, pemain dilarang berkumpul lebih dari lima orang dalam latihan, dan pemain dilarang jatuh sakit.
Padahal salah satu senjata seorang pemain bek atau gelandang bertahan dalam menahan laju lawan adalah tackling. Bagaimana bisa sepak bola dimainkan tanpa benturan fisik dan scrimage alias momen-momen kemelut di depan gawang?
Bagaimana jika dilarang melakukan tackling dalam menciptakan scrimage dalam latihan itu menjalar seperti wabah ke pertandingan yang sesungguhnya di bawah bayang-bayang momok pandemi virus corona?
Idealisasi permainan sepak bola seperti yang diusung Marco van Basten dalam Euro 2008 itu, bahwa urusan bola tidak sekadar asal menang atau kalah, mungkin akan menemukan bentuknya lagi ketika datang pandemi virus corona. Sebuah positional play, sebuah permainan yang tak melulu fisikal, yang dulu membuat Franz Beckenbauer memutuskan gantung sepatu ketika merasa sudah terlalu penuh dengan kekerasan fisik di sepak bola.