TEMPO.CO, Jakarta - Lima tahun lalu di salah satu ruangan di Kantor Kemenpora, Jakarta, Ruud Gullit bilang, “Belanda sulit bersaing dengan tim lainnya karena dananya tidak sebesar negara lainnya.” Manajer Leicester City, Brendan Rodgers, mengungkit soal perbedaan timnya dengan Manchester United soal dana, sebelum mereka dikalahkan United 2-0 di Stadion King Power Minggu malam lalu, 26 Juli 2020.
“Jika dibandingkan dengan Manchester United, kami (Leicester City) tidak ada apa-apanya (dalam soal investasi), “ kata Brendan Rodgers.
“Ada perbedaan ketika kami menginginkan masuk Liga Champions, tapi ketika anda di Manchester United. Ada keharusan mereka lolos ke Liga Champions. Kami ingin lolos, tapi jika kami gagal, musim ini masih tetap bagus buat kami,” jelas manajer Leicester City itu.
Setelah mewujudkan dongeng Cinderella menjadi nyata, dengan menjuarai Liga Primer Inggris 2015-2016, prestasi Leicester pada musim ini memang menjadi terbaik kedua sepanjang sejarah klub ini. Mereka finis di urutan kelima dan meraih tiket ke Liga Europa.
"Ketika anda adalah Manchester United dengan tingkat pengeluaran seperti itu dan segala sesuatu yang lain, ada kebutuhan untuk lolos Liga Champions dan itu membawa tingkat harapan yang berbeda," Rodgers menambahkan.
Hal ini bukan berarti Leicester City tidak mengandalkan investasi dana untuk mengembangkan timnya.
Itu sebabnya pemilik Leicester City beberapa kali berganti dan terakhir konglomerat pengusaha dari Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, yang meninggal setelah helikopter yang ditumpanginya jatuh di luar Stadion King Power pada 27 Oktober 2018. Kini, putra dari Vichai yang menggantikan posisi ayahnya di klub berjuluk The Foxes ini.
Tapi, dalam soal jor-joran pembelian pemain sebagai bagian dari program investasi aset berbasis dukungan dana, mereka kalah jauh dari konglomerat pengusaha olahraga dari Amerika Serikat, Malcom Glazer, yang memiliki Manchester United, meninggal, dan kemudian kepemimpinannya di klub Red Devils ini diteruskan oleh anak-anaknya.
Leicester City sebagaimana Manchester United, Chelsea yang dimiliki konglomerat dari Rusia, Roman Abramovich, dan Lieverpool di bawah kendali pengusaha olahraga asal Amerika Serikat lainnya, John W Henry, juga menerapkan prosedur bisnis sebagaimana lazimnya.
Mereka memecat pelatih kawakan dari Italia, Claudio Ranieri, hanya semusim setelah Ranieri menjadi sutradara lapangan dari pentas dongeng Cinderella pada 2015-2016. Pasalnya, Leicester langsung merosot drastis dan terperosok ke zona degradasi pada musim 2016-17.
Kisah gadis jelata yang terlunta-lunta dan kemudian dipersunting seorang pangeran hanya bisa sekali-kali terjadi dalam kehidupan nyata. Sebuah klub kecil bernama Leicester City yang pada bursa taruhan menjelang musim 20015-2016 di Liga Primer Inggris dikategorikan 500-1 untuk menjadi juara.
Itu sebabnya bursa taruhan resmi di Liga Inggris dan komunitas sepak bola di sana dan juga dunia menjadi geger ketika Leicester City menjadi juara. Kekuatan dana ternyata tidak berbanding lurus dengan prestasi.
Tapi, hal itu tampaknya tidak akan sering terjadi. Liverpool, Juventus, Real Madrid, Bayern Munich, dan Paris Saint-Germain adalah penguasa lima liga papan atas Eropa sekarang, dengan para investor raksasa dari mancanegara berdiri di belakangnya sebagai pemilik.
Kemenangan Manchester City dalam pengajuan bandingnya kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga di Lausanne, Swiss, terhadap hukuman dari badan sepak bola Eropa, UEFA, atas tuduhan pelanggaran soal keuangan dari Financial Fair Play baru-baru ini, menegaskan masuknya korporasi besar mancanegara ke dalam klub sulit dibendung.
Kembali kepada pernyataan Ruud Gullit belasan tahun lalu, selain Leicester City ada salah satu klub legendaris yang “tidak suka sering-sering menang di Eropa” dan lebih suka menjadi pemasok pemain buat klub lain, yaitu Ajax Amsterdam.
Apapun cerita dan interpretasinya, kekuatan dana memang menjadi salah unsur vital dalam olahraga prestasi. Mengumpulkan 11 pemain terbaik di dunia dan menjadikan mereka solid, dengan fasiltas gaji dan lain-lain, serta pelatih berkaliber tinggi hanya bisa diwujudkan dengan adanya dana.
Perusahaan-perusahaan besar, negara-negara kaya, mereka berlomba-lomba mengambil alih kepemilikan klub sepak bola, melalui berbagai cara, seperti yang sedang diusahakan anggota keluargaan kerajaan Arab Saudi untuk membeli Newcastle United.
Tren sepak bola yang semakin dikuasai para investor raksasa dunia mungkin juga kelak akan diikuti Leicester City.