TEMPO.CO, Jakarta - Jika Juventus bersandar kepada sukses Zinedine Zidane dan Pep Guardiola yang menjadi legenda ketika menjadi pemain, lantas masing-masing menjadi pelatih Real Madrid B dan Barcelona B dalam waktu relatif singkat, sebelum menangani tim senior, pilihan kepada Andrea Pirlo bisa mendatangkan risiko.
Pasalnya, era mantan pemain bintang yang sukses sebagai pelatih untuk sementara redup di Liga Champions musim ini. Padahal, Juve punya obsesi tersendiri terhadap kejuaraan utama antarklub Eropa itu.
Setelah membawa Real Madrid menang tiga kali beruntun, musim ini tim asuhan Zidane sudah tersingkir pada 16 besar. Orang yang mengalahkan Zidane, yaitu Pep Guardiola, di Manchester City, kemudian untuk ketiga kali beruntun gagal meloloskan City ke semifinal. Guardiola belum lagi sukses di kejuaraan ini setelah membawa Barcelona juara dua kali sebelum 2015.
Alasan utama Juventus memecat Maurizio Sarri karena Juventus kalah di 16 besar Liga Champions musim ini, sehingga Nyonya Tua ini tidak juga beranjak dari status jago kandang di Seri A Liga Italia. Terakhir mereka juara Liga Champions pada 1995-96.
Ketua mereka, Andera Agnelli, memang dikenal suka petualangan. Sarri mungkin dipandang terlalu monoton Massimiliano Allegri, yang juga gagal di Liga Champions.
Tapi, memilih Andrea Pirlo yang baru punya lisensi pro kepelatihan UEFA Agustus 2019 dan baru ditunjuk menjadi pelatih Juventus U-23 di Seri C Liga Italia, Juli lalu, apa tidak terlalu berbau spekulasi?
Baca Juga: Bocoran Rencana Revolusi Skuad Juventus di Bawah Andrea Pirlo
Tak ada yang meragukan kehebatan Pirlo semasa menjadi pemain, dengan julukan Metronome dan Mozart. Sanjungan kepada pria yang kini berusia komposer sejati di irama “musik” sepak bola sejak meninggalkan Brescia untuk membela Inter Milan, Inter Milan, Juventus, dan menjadi inspirator kemenangan Italia di Piala Dunia 2006 dan meraih runner-up Euro 2012.
Tiga tahun lalu, Pirlo menyatakan gantung sepatu setelah membela New York City di Liga Sepak Bola Amerika Serikat 2015-2017. Segala puja-puji mengalir buat pemain yang punya julukan Mozart, Maestro, The Profesor, dan Metronome ini pada usia saat itu, 38 tahun. Rekornya selama 22 tahun sebagai pemain andalah 872 pertandingan, 6 gelar Seri A Liga Italia, 2 trofi Liga Champions bersama AC Milan, dan tentu saja 1 Piala Dunia.
Catatan karier kepelatihannya? Masih nol, karena belum sempat menyaksikan timnya, Juventus U-23 bertanding.
Agneli dan direksi Juventus mungkin punya feeling bahwa Andrea Pirlo, dengan segala kelebihannya sebagai pemain, yang bisa mengakhiri kevakuman mereka di Liga Champions yang sudah berlangsung begitu lama. Atau, ini strategi untuk mendongkrak pasar komersial Nyonya Tua setelah Cristiano Ronaldo juga gagal melambungkan mereka kejuaraan utama antarklub Eropa itu?
Yang jelas, orang kini semakin penasaran untuk mengamati Juventus karena menunggu apa yang akan dilakukan sang komposer baru, Andrea Pirlo, dalam mengaransir timnya. Buat pecinta Juve, kehadiran Pirlo juga membangkitkan romantisme atas kehebatan Nonya Tua pada masa lalu di Eropa.
“Dalam hal pergerakan, kreativitas dan kepintaran membuatnya tampak tetap sederhana,” kata Giovani Trapattoni, mantan pelatih Juventus, tentang Andrea Pirlo yang menjadi dirigen tim dengan bermain di depan empat bek timnya.
Andrea Pirlo memang ada kemiripan dengan Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791). Ciri khas dari musik yang diciptakan Mozart dapat ditemukan pada setiap karyanya. Kejernihan, keseimbangan, dan transparansi merupakan nuansa yang selalu diangkat oleh Mozart, meskipun kadang hanya menggunakan nada-nada yang sederhana.