TEMPO.CO, Jakarta - Ronald Koeman, 57, ibarat sedang bermain teater di Barcelona. Adalah timing -yang bukan sekadar berati harafiah adalah mengatur waktu- menjadi penting. Pemilihan waktu atau momen yang pas untuk mengambil tindakan strategis setelah mengamati kejadian di sekitar menjadi penting.
Sebab, teater di panggung bukan film yang bisa diulang adegannya jika terjadi kesalahan. Pertunjukan hidup di hadapan penonton yang harus terus berlangsung. Karena itu, timing menjadi penting dan tak selalu Koeman dan para kolega pelatih sepak bola bisa dengan tepat memilihnya.
Itu yang bisa menjelaskan bagaimana Ronald Koeman mampu meraih sukses pada kiprah kepelatihan terakhirnya, sebelum menangani Barcelona. Ia membawa Belanda untuk pertama kali lolos ke putaran final Piala Eropa atau Euro sejak 2014 untuk pergelaran Euro 2020 dan menjadi runner-up Liga Nasional Eropa tahun lalu.
Tapi, sebelumnya, Ronald Koeman dipecat dari Everton dalam durasi kerja yang relatif pendek 2016-2017 karena membuat tetangga Liverpool FC itu hampir saja terdegradasi dari Liga Primer Inggris.
Koeman direkrut Everton setelah membuat Southampton meraih peringkat tertinggi sepanjang sejarah mereka di Liga Primer Inggris, yaitu peringkat keenam pada 2016.
Ronald Koeman awalnya bermain sebagai bek tengah, kemudian berkembang juga bisa bermain sebagai gelandang jangkar. Virgil van Dijk, yang begitu menjulang sekarang sebagai bek tengah Liverpool, adalah rekrutan Koeman ketika menangani Southampton. Sebelumnya, Van Djik bermain di Glasgow Celtics.
Biasanya naluri atau reflek untuk melakukan timing yang tepat akan terasah seiring jam terbang kepelatihan. Dan, Koeman, yang mungkin suka dilupakan orang, adalah satu asisten pelatih Guus Hiddink saat Belanda tampil pada Piala Dunia 1998 di Prancis.
Waktu itu, Patrick Kluievert –yang sekarang menjadi ketua pengembangan pemain muda di FC Barcelona- dan kawan-kawan menembus semifinal dan berhadapan dengan Brasil, Ronaldo dan kawan-kawan. Pertandingan berjalan sampai perpanjangan waktu dan tandukan Kluivert menyamakan skor. Sayang, kemudian Belanda harus kalah adu penalti.
Setelah itu, pencetak gol kemenangan –melalui tendangan bebas jarak jauh- Barcelona pada final European Cup 1992, yang kini bernama Liga Champions, di Stadion Wembley melawan Sampdoria, ini kemudian direkrut Louis van Gaal untuk menjadi asisten pelatihnya di Barcelona.
Kelak hubungan Ronald Koeman dan Louis van Gaal tidak pernah bisa akrab lagi sampai bereuni di Liga Primer Inggris –saat Van Gaal menangani Manchester United- dan mungkin juga sekarang. Itu gara-gara sebagai direktur teknik di Ajax Amsterdam, Van Gaal suka mencampuri urusan Koeman sebagai pelatih.
Tapi, kini Ronald Koeman tampaknya secara naluri mengikuti langkah salah satu mentor sekaligus seterunya, Van Gaal, dengan kemungkinan memboyong banyak pemain Belanda ke dalam skuad Barcelona.
Pada masa Van Gaal di Barcelona dulu sampai ada sebutan Barca-Jax karena ia memasukkan begitu banyak pemain Ajax ke Camp Nou.
Kali ini, Ronald Koeman tak sepenuhnya pemain dari Ajax, tapi memang kemungkinan pemain dari Belanda. Alasannya, jelas, ia mantan manajer tim beruluk Oranye itu.
Selain sudah ada Frenkie de Jong dari Ajax yang sudah semusim di Camp Nou, Koeman diberitakan akan menarik rekan De Jong yang masih berada di Amsterdam, Donn van de Beek. Ia pun meminta Georginio Wijnaldum yang berada di Liverpool untuk tidak memperpanjang kontraknya di Anfiled untuk menunggu panggilan dari Camp Nou.
De Jong, Van de Beek, dan Wijnaldum yang asalnya dari Feyenoord adalah pemain andalan Koeman di lini tengah tim nasional Belanda. Adapun untuk lini depan, ia dikabarkan akan segera mengontak kapten Lyon, Memphis Depay, yang ikut membawa Belanda merebut peringkat ketiga Piala Dunia 2014. Depay asalnya dari PSV Eindhoven.
Kabar-kabar pemilihan pemain baru yang ingin dimasukkan Koeman itu bukan sekadar isapan jempol belaka karena datang dari RAC1, media yang dikenal pendukung Jose Maria Bartomeu, presiden FC Barcelona sekarang, dan kemudian dikutip media lain, seperti AS dan Marca.
Meski dilatih Johan Cruyff pada masa The Dream Team Barcelona periode 1990-an dan ditangani Rinus Michels ketika memenangi Euro 1988, Ronald Koeman sebenarnya bukan pengusung falsafah Ajax-total football-tiki-taka Barcelona yang taat.
Sebagaimana Lionel Messi yang posisinya lebih dari sekadar bintang sepak bola di Barcelona, Johan Cruyff juga dianggap filsufnya permainan Barca –bisa dilihat dari cerita-cerita Pep Guardiola.
Ronald Koeman pada beberapa kali kesempatan mengatakan dalam taktik dan strategi bermain, ia lebih pragmatis, meski tetap berbasis pada keyakinan penguasan bola adalah kunci. Ia mirip Luis Enrique, mantan bintang Barcelona juga dan pelatih terakhir yang membawa Barca menjuarai Liga Champions pada 2015. Pada era Enrique ada sejumlah serangan Barca yang dibangun dari umpan-umpan lambung yang langsung ke mulut gawang.
Berbekal saratnya pengalaman sebagai pemain dan pelatih dengan kualitas jauh di atas kelas medioker seperti itu, Ronald Koeman mengambil tantangan untuk bisa melakukan timing yang tepat atau kelak gagal di Barcelona, termasuk dalam menghadapi situasi Lionel Messi sekarang.
Baca Juga: Banderolnya 12 T, Mungkinkah Lionel Messi Tinggalkan Barcelona? Ini Analisisnya