TEMPO.CO, Jakarta - Liverpool mengalami kemerosotan luar biasa di Liga Inggris. Dari tim juara yang tampil sangat dominan, mereka kini menjadi tim papan tengah yang bahkan akan sulit meraih tiket Liga Champions musim depan.
Musim lalu, Liverpool meraih gelar ke-19, yang pertama sejak 1990. Mereka melakukannya dengan sangat bergaya: unggul 18 poin dari Manchester City dan memastikan gelar itu dengan rekor paling awal yakni dengan tujuh laga tersisa.
Musim ini, keperkasaan mereka seolah menguap. Mereka baru saja mengalami enam kekalahan beruntun di kandang sendiri, yang terburuk yang pernah dialami dalam sejarah mereka. Kekalahan kandang itu menjadi lebih terasa pukulannya karena mereka tak terkalahkan di tempat sama dalam 68 laga selama 4 tahun terakhir.
Musim ini, tim asuhan Jurgen Klopp itu sudah kalah 9 kali dan seri 7 kali dari 28 laga yang dijalaninya di Liga Inggris. The Reds hanya menempati posisi kedelapan klasemen dengan nilai 43. Mereka kini tertinggal 7 poin dari Chelsea yang ada di posisi empat besar, yang menjanjikan tiket ke Liga Champions musim depan.
Apa yang salah dengan Liverpool? Reuters menampilkan analisisnya, dengan mengumpulkan pendapat dari para wartawan olahraganya di seluruh dunia. Inilah poin-poin selengkapnya:
Monster Menjadi Cebol
Ekspresi penyerang Liverpool Mohamed Salah dan Roberto Firmino, setelah gagal membobol gawang Newcastle United dalam pertandingan Liga Inggris di St James' Park, Newcastle, 31 Desember 2020. Liverpool bermain imbang 0-0 dengan Newcastle United. Pool via REUTERS/Peter Powell
Jurgen Klopp sering berbicara tentang preferensinya untuk mengoperasikan skuad yang kecil. Hal itu berguna untuk menjaga mental, menjaga pengertian di lapangan, juga untuk membantu menerapkan pendekatan permainan yang terus mengandalkan permainan menekan tanpa henti.
Pendekatan itu berhasil pada musim lalu da musim sebelumnya, saat menjadi juara Liga Champions dan Liga Inggris. Mereka seolah menjadi monster bagi musuh-musuhnya.
Namun pendekatan yang begitu intens terbukti berdampak pada tubuh para pemain yang menua. Dari starting eleven final Liga Champions 2018, hanya Dejan Lovren yang tidak lagi berada di klub. Para pemain lain masih menjadi andalan. Dan mereka, yang umumnya tak muda lagi, tapi terus dipacu dan dipacu lagi untuk memainkan pola yang menguras tenaga.
Hasilnya, banyak pemain cedera. Di lapangan, permainan mereka tak lagi seefektif sebelumnya. Seperti yang dikatakan mantan pemain mereka Jamie Carragher di Sky Sports, "mentalitas monster" di klub itu berubah menjadi "mentalitas cebol'.
Baca Juga: Liverpool Terpuruk, Deja Vu Klopp di Dortmund
Klopp yang Konservatif, Tiada Rotasi
Pemain Liverpool Mohamed Salah. REUTERS/Clive Brunskill
Pelatih Jurgen Klopp cenderung konservatif dalam memilih skuadnya. Ia percaya pada ramuan yang sudah terbukti berhasil dan tak berani mencoba alternatif baru untuk mengantisipasi tantangan baru. Ia sangat jarang melakukan rotasi pemain.
Desember lalu contohnya. Klopp berbicara tentang tekanan dari jadwal padat akhir tahun. Namun, ia tetap memainkan Mohamed Salah dalam pertandingan Liga Champions melawan Midtjylland yang sudah tak berpengaruh. Padahal penyerang Mesir itu sudah bermain 18 kali dari 20 laga Liverpool sepanjang musim itu.
Salah mencetak gol dan memastikan skor jadi 1-1. Ia juga memastikan diri menjadi pencetak gol terbanyak klub di Liga Champions. Tetapi dari sudut pandang jangka panjang, laga itu menjadi salah satu kesalahan Klopp. Ia melewatkan kesempatan memberi istirahat yang layak buat Salah dalam periode yang padat. Selain Salah, Trent Alexander-Arnold, Fabinho, dan Diogo Jota seharusnya diistirahatkan saja.
Skuad tim utama itu, yang telah bermain dengan intensitas tinggi selama dua atau tiga musim sebelumnya, sekarang terlihat letih. Namun, sebelum kemerosotan itu terjadi, Klopp terlihat sangat berhati-hati untuk memberikan istirahat yang memadai bagi pasukan utamanya.
Ia juga tak memberi ruang yang cukup bagi pemain pelapis, seperti Divock Origi, untuk membuktikan diri. Putusan-putusan untuk tak memberi ruang untuk rotasi tim itu, kini mulai terasa efeknya.
Selanjutnya: Salah Rekrut dan Gagal Adaptasi