Dewan anggota klub sepakat melego klub kepada perusahaan yang dimiliki Henry, New England Sports (NESV) dengan nilai 300 juta pound sterling (Rp 4,2 triliun). Namun kesepakatan itu bisa berakhir di meja pengadilan lantaran adanya penentangan dari dua pemilik klub Tom Hicks dan George Gillet, yang menolak menjual klub.
Sebelum itu terjadi, Liverpudlian hanya bisa membayangkan perubahan apa yang akan digulirkan Henry dan kelompoknya untuk membangkitkan performa terburuk klub di awal musim pada lebih dari 50 tahun.
Meski Henry, 61 tahun tidak bisa dimintai komentarnya, NESV menjanjikan akan membawakan kembali budaya kemenangan di klub. Da para bankir penggila olahraga, petinggi sepak bola, petinggi di pasar saham, dan rekan mengatakan Liverpudlian harus merayakan hal ini.
“Apa yang dilakukan kelompok (NESW) dengan klub legendaris, Red Sox yang hampir menemui ajal ketika pertama kali membeli klub bisbol itu....dari prespektif bisnis mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa,” kata Dave Checketts, pemilik hak cipta MLS di Utah, yang juga pemilik klub NHL St. Louis Blues, Kamis (7/10).
Menurut Checketts, dari pandangan kehumasan, Henry adalah seorang midas. “Sempurna dan mereka mendapat kesuksesan di lapangan (Red Sox). Mereka akan mengulangi kesukesannya di Liverpool,” katanya.
'Penggila bisbol'
Lahir di Quincy, Illinois, Henry, yang membangun kerajaan kekajayaan sebagai pialang saham, telah menggilai bisbol sejak belia. Dia menjadi idola klub lokal St. Louis Cardinals karena tidak ingin menunggu berita dari koran minggu. Hal ini diakui John Damgard, Presiden Asosiasi Industri Pialang Amerika Serikat yang juga hadir sebagai tamu dalam pesta pernikahan Henry pada musim panas lalu.
“Kecintaan Henry pada angka datang dari kegilaannya dengan bisbol,” puji Damgard, yang meyakini Henry akan mengubah Liverpool kembali menjadi raksasa di sepak bola Inggris dalam waktu tiga tahun.
Henry memang tidak terbiasa berbicara di hadapan media. Namun dia kerap bercengkerama dengan para suporter. “Saya senang mendengar dan berinteraksi dengan para suporter. Mungkin tidak setiap suporter bisa mengenali saya. Tapi saya pikir saya bisa mengidentifikasi kebanyakan dari mereka,” katanya.
Henry juga memiliki sebagian kecil saham di New York Yankees dan memiliki Florida Marlins sebelum memimpin grupnya mengakuisisi Red Sox pada 2002 dengan rekor nilai US$ 700 juta (Rp 6,2 triliun).
Dua tahun setelah itu, Sox memenangkan gelar pertamanya setelah 86 tahun. Keberhasilan ini sontak membungkam suporter yang kerap mengutuk klub setelah menjual legenda pemain Babe Ruth kepada musuh abadi tim Yankees setelah kejuaraan pada 1918. Tim juga memenangkan kejuaraan lainnya pada 2007.
Melihat kesuksesan yang didapat Red Sox, Robert reynolds, Direktur Eksekutif Putnam Investments, mengatakan hal itu akan berlanjut melintasi samudera Atlantik. “Kemampuan yang Anda perlukan untuk menjalankan klub olahraga, apakah itu sepak bola, rugby atau bisbol, sama,” katanya.
Kepiawaian Henry dalam berbisnis didapatnya sejak usia muda. Setelah mencoba peruntungan bertaruh blackjack di meja judi di Las Vegas, kemdian dia tertarik untuk menganalisa pergerakan pasar ketika mendapat warisan peternakan pada usia 26 tahun.
Henry mengembankan kemampuan berbisnisnya dengan mengikuti rumus matematika algoritma yang membuatnya sukses. Dalam profil yang dibuat Boston Magazine pada 2009, Henry digambarkan sebagai “seringkali begadang hingga pukul 3 pagi, mengecek pasar saham di Jepang, menyusun strategi dengan tangan kanannya di Sox, Theo Epstein, atau bermain simulator iRacing, yang meniru mobil-mobil pada timnya di ajang lomba balap mobil NASCAR, Roush Fenway.
Cara pandang Henry yang selalu detail yang membuat dirinya dan sekutunya sukses. Penilaian ini disampaikan Randy Vataha, presiden perusahaan investasi olahraga Game Plan llc.
REUTERS | bgs