TEMPO.CO, Port Said - Insiden berdarah di Stadion Port Said, kemarin, seperti memberi garam pada Mesir yang sedang terluka pascarevolusi penggulingan Presiden Husni Mubarak. Lapangan sepak bola, yang biasanya menyatukan mereka, berubah jadi ajang pertempuran berdarah sesama anak-anak Negeri Piramid tersebut.
Pertandingan Al-Masry dan Al-Ahly berakhir dengan kematian 73 orang dan kurang lebih seribu lainnya luka-luka. Insiden ini adalah yang terparah sejak kerusuhan di Stadion Guatemala City, Oktober 1996, yang menewaskan 78 orang.
Sepanjang tahun lalu, otoritas Mesir jadi sorotan karena gagal menangani serangkaian insiden di lapangan hijau. Pada April 2011, ratusan polisi di Stadion Internasional Kairo hanya bisa bengong ketika ribuan pendukung Zamalek menyerbu lapangan saat menjamu klub dari Tunisia, Africain, di Liga Champions Afrika.
Lalu pada November, Asosiasi Sepak Bola Mesir, EFA, mewajibkan Al-Ahly dan Zamalek bermain di stadion tanpa penonton karena pendukung mereka terus mengabaikan larangan petasan dan kembang api saat pertandingan. Pada bulan yang sama, Ismaily mendapat sanksi yang sama karena baku hantam saat melawan Al-Ittihad. Juga Al-Masry karena penontonnya melempari lawan dengan botol air minum.
Bukannya manut, barisan pendukung garis keras--yang dikenal dengan Ultras--klub Al-Ahly malah membentangkan spanduk "Jangan Ajari Kami Cara Mendukung Tim Kami." Di laman Facebook mereka menulis pesan di spanduk itu ditujukan pada EFA dan pihak lain yang menjadikan stadion sebagai penjara. "Kami penguasa stadion. Kami pemilik tribun."
Ultras, yang biasanya apolitis, "tercemar" oleh perubahan politik Mesir. Mereka merasa tumbuh sebagai entitas dengan kekuatan super dan EFA adalah organisasi diktator yang menindas rakyat, seperti Presiden Mubarak.
Pejabat keamanan mengaku mendapat perintah dari Kementerian Dalam Negeri untuk tidak "menyentuh" warga sipil menyusul bentrok antara demonstran dan polisi saat menggulingkan Presiden Mubarak, November lalu. Artinya, polisi yang berjaga di stadion hanya diperkenankan berdiri dan menonton pertandingan.
Pemain Al-Ahly, Mohammed Abu Trika, memprotes polisi yang tidak berbuat banyak untuk mencegah kekerasan. "Orang-orang sekarat dan tidak ada yang melakukan apa-apa," ujarnya. "Apa nyawa semurah itu?"
Para pemain sepakat tidak akan kembali ke lapangan hijau dalam waktu dekat. "Bagaimana Anda mau bermain bola setelah melihat sebanyak itu orang meninggal," ujar kiper Al-Ahly, Sharif Ikrami. Liga Primer Mesir dibekukan, mungkin sampai musim 2012-2013.
USA TODAY | BLEACER REPORT | REZA MAULANA