TEMPO.CO , London - Kompany sedang berada di puncak kesuksesan hidup. Manchester City, klubnya saat ini, menawarinya kontrak baru senilai 60 juta pound sterling atau sekitar Rp 1,18 triliun. Tapi kisah perjalanan hidupnya jauh dari kemudahan.
Lelaki ini tumbuh di Brussel dan mengawali karier sebagai pemain sepak bola di tim multikultural. Lawan-lawan mereka mengejek dia dan anak-anak kecil lain yang berdarah imigran dengan kata-kata rasis.
Dia mengatakan—dalam buku biografinya yang berjudul Vincent Kompany-Van Ket tot Kapitein—“Tim kami diisi anak-anak keturunan Afrika, Turki, dan Italia. Di mana pun kami bermain di luar Brussel, kami mendapat pelecehan dari para orang tua tim lawan.”
"Anak-anak usia 11 atau 12 tahun disebut kotoran. Mereka menuduh anak-anak Afrika lebih tua dibanding usia mereka di paspor. Wasit diam saja. Rasisme dan ketidaksetaraan membuatku menjadi pemberontak,” ucapnya.
Debut profesionalnya di Anderlecht juga bergejolak. Ia sempat hendak pindah karena frustrasi tak kunjung masuk tim utama.
“Aku mogok bermain dua pekan di Anderlecht. Aku main bagus di tim junior, tapi tak bisa masuk skuad senior. Mereka lebih mengutamakan pemain dari hasil binaan sendiri.”
Ayah dan ibu Kompany bercerai saat dia berusia 14 tahun. Dia tak naik kelas di sekolah. Dan, bapaknya menganggur. “Beruntung, aku mendapat teman dari keluarga yang bercerai sehingga tak merasa sendirian. Aku melampiaskan semua ketidakadilan itu melalui sepak bola.”
Kini pemberontakannya berhasil. Kompany memimpin Belgia menembus babak kedua Piala Dunia 2014. Dialah salah satu pemain paling cerdas—karena menguasai lima bahasa—dan paling diminati klub-klub papan atas di dunia.
ESPN SOCCERNET | MAILONLINE| HARI PRASETYO
TERPOPULER: