TEMPO.CO, Bandung - Menjelang laga final Piala Presiden antara Persib Bandung melawan Sriwijaya FC di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu, 18 Oktober 2015, antusias bobotoh--julukan suporter Persib--semakin meningkat
Persiapan bobotoh untuk menyaksikan laga tersebut semakin dimatangkan. Mereka berencana melakukan tur perjalanan menuju GBK.
Pentolan Viking Persib Club--salah satu organisasi Bobotoh, Yana Umar, menuturkan dia sedang sibuk mengkoordinir persiapan sebelum berangkat, mulai dari pengaturan kuota tiket hingga koordinasi masalah keamanan perjalanan. Bobotoh, kata dia, ingin membirukan Stadion GBK saat final berlangsung.
Yana mengatakan kuota tiket untuk bobotoh sebanyak 30 ribu lembar mulai didistribusikan ke distrik-distrik organisasi yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Bahkan, dia mengatakan, bobotoh yang berasal dari Kalimantan, Riau, hingga Sulawesi, mengonfirmasi akan mengikuti tur ke Jakarta bersama.
Ia menegaskan keselamatan bobotoh menjadi prioritas utama dalam lawatan menuju ibu kota. Apalagi, dia menambahkan, hubungan antara Viking dan The Jakmania - sebutan pendukung Persija Jakarta, tidak akur. Kedua pendukung klub itu acap kali berselisih.
Perselisihan tersebut bermula sekitar tahun 2000. Ketika itu, kurang koordinasi antara kedua suporter itu hingga berakhir pada tragedi yang menyebabkan jatuhnya korban karena harus disudahi dengan kepalan tangan.
"Ceritanya panjang ya, masalah permusuhan kami dengan The Jak dan hal ini sampai sekarang memang sulit diselesaikan," Yana, saat ditemui Tempo di Graha Persib Jalan Sulanjana, Kota Bandung, Jumat, 16 Oktober 2015.
Menurut Yana, perselisihan itu muncul ketika mereka ingin menyaksikan laga Persib melawan Persija pada awal milenium silam. Namun, komunikasi dari The Jak sangat mendadak. "Sehari mau dilangsungkan pertandingan mereka baru komunikasi, kan seharusnya seminggu pertandingan harus sudah komunikasi kesini, tapi mereka maksa untuk datang," ujarnya.
Kondisi Bandung kala itu, menurut Yana, tidak kondusif. Saat itu, tiket sudah habis karena antusiasme bobotoh yang luar biasa. Akibatnya, terjadi kericuhan tetapi tidak sampai pada tindakan fisik. "Tapi katanya (The Jak) ada yang mukul, katanya anak Viking padahal bukan. Kalau Viking yang mukul pasti ketahuan," ujarnya.
Kejadian itulah, menurut Yana, yang kemudian berujung pada perseteruan panjang. "Dia pulang, kemudian pas lawan Maladewa di Jakarta, anak-anak datang, mereka dipukuli. Itu awalnya, merasa nggak enak, akhrinya dibales lagi, dan saling bales sampai sekarang," tuturnya.
Puncak perseteruan kedua kelompok suporter terjadi saat bobotoh diundang salah satu televisi swasta menghadiri acara kuis. Ketika bobotoh ingin bergegas untuk pulang menuju Bandung, tiba-tiba The Jak melakukan serangan hingga jatuh korban dari bobotoh. "Tragedinya itu waktu kuis siapa berani pada tahun 2002, sampai ada korban juga dari kami," ujarnya.
Sebetulnya, menurut Yana, rivalitas itu memang suatu kewajaran kalau tidak sampai menimbulkan tindakan anarkis maupun bentrokan fisik. "Kalau dari Bobotoh gini ya maunya standar-standar aja lah, kalau perseteruan ya yang wajar aja jangan sampai ada korban, kalau buat rame-rame nonton ya silahkan saja namanya juga rival itu harus ada biar rame, kan biar pertandingan juga lebih seru," ujar dia.
Sosiolog Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, M. Taufiq Rahman, mengatakan perseteruan antara sesama suporter sepak bola di tanah air sudah keluar dari pakem-pakem kontrak sosial. Para suporter lebih cenderung mengarah pada fanatisme berlebihan yang berakibat pada tindakan anarki.
"Terjadi disorder (keluar dari tatanan masyarakat) dalam suatu kerumunan. Berawal dari hal kecil saja seperti kata-kata kasar sekalipun itu bisa menjadi penyulut declaration of war. Kalau sudah begitu tidak akan terjadi order (tatanan) malah adanya disorder," ujar Rahman.
Menurut Rahman, sikap fanatisme berlebih itu tumbuh akibat adanya pemicu yang senantiasa memupuk dan mengarahkan individu untuk bersikap diluar kontrol sosial. "Karena dipupuk dengan berbagai argumen, seperti selebrasi yang terpampang di media-media, apalagi di media sosial yang secara konten itu susah dikontrol," katanya. "Kerumunan-kerumunan itu bisa berbuat apapun, ketika adanya kerumunan itu keberanian individu bertambah, seolah mereka bebas melakukan apa saja."
AMINUDIN A.S.