TEMPO.CO, Jakarta - Rumor perpindahan Josep Guardiola ke Liga Inggris terus digaungkan oleh media-media di negeri Ratu Elizabeth. Manchester City, Manchester United, Chelsea, serta Arsenal menjadi empat tim yang disebut tertarik menggunakan jasa manajer asal Spanyol itu.
Guardiola memulai kariernya sejak 2007 lalu ketika dia menangani Barcelona B. Setahun bersama tim kelas dua Barcelona itu, dia lompat ke tim senior. Pencapaiannya di tahun pertama sangat fantastis. Dia langsung mempersembahkan tiga gelar bagi Blaugrana tahun itu, yakni Liga Champions, Liga Spanyol, dan Copa del Rey.
Empat tahun bersama Barcelona, Guardiola mampu mempersembahkan 14 gelar juara. Tiga gelar juara Liga Spanyol, 2 juara Liga Champions, 2 Copa del Rey, 2 Piala Super Eropa, 3 Piala Super Spayol, serta 2 gelar Piala Dunia Antarklub.
Memutuskan mundur dari Barcelona pada 2012, Guardiola sempat rehat selama setahun sebelum akhirnya berlabuh ke tim Jerman Bayern Muenchen pada 2013. Kariernya di Muenchen memang tak secemerlang seperti saat dia masih menangani Barcelona. Dia hanya berhasil menambahkan lima piala ke lemari The Bavarians selama dua tahun belakangan: 2 gelar liga Jerman, 1 gelar Piala Jerman, 1 gelar Super Eropa, serta 1 gelar Piala Dunia Antarklub.
Meskipun gagal membawa Bayern menjadi juara Liga Champions, nama Guardiola menjadi daya tarik tersendiri di daratan Inggris. Guardiola memiliki statistik kemenangan paling besar di antara manajer-manajer terbaik yang ada di dunia saat ini. Pria yang mengantongi lisensi kepelatihan UEFA Pro ini mampu memenangkan 74,3 persen laga sepanjang kariernya sebagai manajer. Angka ini jauh di atas Jose Mourinho yang hanya 65,3 persen atau pelatih kawakan Carlo Ancelotti yang hanya 59,8 persen.
Keberhasilan Guardiola itu tak lepas dari ramuan tiki-taka yang selalu diterapkannya di mana pun dia berada. Sepak bola indah ini mengandalkan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki serta pergerakan para pemainnya sepanjang 90 menit. Kekuatan fisik, akurasi umpan, serta kekompakan tim menjadi kunci keberhasilan tiki-taka ala Guardiola.
Di Liga Inggris, strategi "mirip" tiki-taka dianut oleh Arsene Wenger, terutama ketika musim 2003-2004. Trio Thierry Henry, Robert Pires, dan Patrick Viera memperagakan aliran bola cepat dari kaki ke kaki layaknya filosofi “I get the ball, I pass the ball”, seperti yang dimainkan Pep. Hasilnya, Arsenal menjadi juara Liga Inggris tanpa terkalahkan saat itu.
Namun ramuan tiki-taka tampaknya tak lagi ampuh di Liga Inggris. Buktinya Arsenal tak pernah lagi menjadi juara Liga Inggris sejak 2004 silam. Tim-tim yang menjadi pemenang di Liga Inggris sejak saat itu adalah tim yang memiliki filosofi pragmatis.
"Tak penting bermain indah, yang penting menang," begitu filosofi permainan mayoritas klub Liga Inggris saat ini. Tackle keras, umpan lambung cepat ke depan, dan pemain yang mampu berlari layaknya sebuah mobil sport adalah kunci kemenangan di Inggris saat ini.
Lihat saja bagaimana kejayaan Chelsea dibangun di era Jose Mourinho, keberhasilan City menjadi juara Liga Inggris, dan keberhasilan Ferguson di akhir masa baktinya di Manchester United. Ketiga klub yang merajai Inggris dalam satu dekade belakangan ini selalu menggunakan filosofi seperti itu. Tak heran Liverpool di era Rafael Benitez gagal menjadi juara Liga Inggris, tapi menjadi juara Liga Champions pada 2004-2005.
Lantas, akankah Guardiola dengan filosofinya berhasil di Liga Inggris? Melihat catatan pertemuannya dengan klub Liga Inggris, mungkin saja dia akan berhasil atau mungkin juga tidak. Sepanjang karier melatihnya, Guardiola baru bertemu 21 kali dengan tim asal Liga Inggris. Itu pun hanya 4 tim, yaitu Arsenal, Chelsea, Manchester City, dan Manchester United.
Dari 21 kali pertemuan itu, Guardiola hanya mampu memenangkan 10 pertandingan saja dan kalah 5 kali, sisa 6 pertandingan lainnya berakhir dengan seri. Catatan terbaik Guardiola adalah kala bertemu Arsenal dan Manchester United.
Melawan Arsenal, Guardiola mampu membawa tim yang ditanganinya 4 kali menang dan 2 kali kalah serta 2 kali seri. Sedangkan melawan Manchester United, Guardiola belum pernah sekalipun kalah dengan catatan 3 kali menang dan 1 kali seri. Ketika melawan Chelsea dan Manchester City, Guardiola memiliki catatan yang seimbang. Melawan Chelsea, tim asuhan pria berkepala plontos itu hanya 1 kali menang, 1 kali seri, dan 3 kali menang. Sedangkan melawan Manchester City, Guardiola berhasil 2 kali menang dan 2 kali kalah.
Namun semua pertemuan itu terjadi di Liga Champions. Dalam pertandingan-pertandingan itu, Guardiola lebih diuntungkan. Timnya jauh lebih segar karena jadwal kompetisi tidak sepadat tim-tim di Liga Inggris.
Tantangan bagi manajer di Liga Inggris tak hanya bagaimana meramu permainan sesuai filosofi yang diinginkannya, tetapi juga bagaimana manajer harus menyesuaikan taktiknya dengan kondisi fisik dan cedera pemain yang menerpa. Tentu saja hal itu bukan perkara mudah. Banyak manajer cemerlang yang kemudian angkat koper dengan tangan hampa di tanah Britania. Apakah Guardiola akan menjadi salah satunya? Menarik untuk kita ikuti sepak terjang Guardiola jika benar musim depan dia akan berlabuh ke Inggris.
FEBRIYAN