TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok watchdog sepak bola Save Our Soccer meminta kasus sepak bola gajah yang melibatkan PSS Sleman dan PSIS Semarang dua tahun lalu direkonstruksi ulang. Menurut mereka, penyelesaian kasus itu tidak adil.
Save Our Soccer melancarkan desakan itu dengan memanfaatkan momentum dua tahun kasus sepak bola gajah yang jatuh pada hari ini, Rabu, 27 Oktober 2016.
Dua tahun lalu, dua klub Jawa Tengah, PSS Sleman dan PSIS Semarang bertanding secara tidak normal dalam laga terakhir babak delapan besar Grup N Divisi Utama 2014 di Sasana Krida Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta. Lima gol yang tercipta di laga itu—dengan kemenangan PSS 3-2—adalah hasil bunuh diri.
Kedua tim diduga kuat berusaha kalah agar tidak bertemu Pusamania Borneo FC, runner-up Grup P, di semi final. Fenomena ini dikenal dengan sebutan “sepak bola gajah”.
Komisi Disiplin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) telah menjatuhkan hukuman kepada pemain dan ofisial klub. Total ada 50 orang yang divonis (24 dari PSIS, dan 26 dari PSS). Namun, Save Our Soccer merasa hukuman yang dijatuhkan tidak tepat.
Atas dasar itu, #SOS (Save Our Soccer) menuntut PSSI dan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi) untuk merekonstruksi ulang kasus tersebut—mengusut tuntas sampai ke dalang dan otak intelektualnya.
“Jangan sampai ini hanya menjadi sejarah kelam sepak bola nasional yang tak ada muaranya,” kata Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali.
Menurut Akmal, ketidakadilan pertama dalam vonis Komisi Disiplin PSSI adalah soal gol bunuh diri.
Disebutkan bahwa pencetak gol bunuh diri untuk PSIS adalah Komaedi, Fadli Manan, dan Saptono. Padahal, bukan Fadli Manan yang melakukan gol bunuh diri, tapi Taufik Hidayat.
Ketika itu, Inspektur Pertandingan (IP) salah mencatat dan berjanji akan memperbaikinya. Tapi, menurut Akmal, Fadli sudah terlanjur dijanjikan akan diringankan hukumannya dengan mengakui saja di atas kertas bermaterai.
Save Our Soccer bahkan lebih jauh mengatakan ada oknum yang mengaku dekat dengan PSSI yang berusaha meyakinkan Fadli akan diringankan hukumannya dengan menyetorkan uang Rp 50 juta.
Selain Fadli, menurut Akmal, banyak pemain juga yang mengaku hukuman yang dijatuhkan sangat tidak memenuhi azas keadilan.
Kapten PSIS, Sunar Sulaiman, mengaku tak diberikan kesempatan untuk menjelaskan secara transparan. Pemain asing Julio Alcorse yang tidak bermain juga dipaksa untuk mengakuinya karena dijanjikan akan diringankan.
Akmal mengatakan, rekonstruksi ulang adalah jalan terbik untuk menerapkan asas keadilan. Menurut dia, pemain dan pelatih adalah wayang. Mereka menjalankan apa yang diperintahkan dalang. “Nah, dalangnya ini harus ditemukan,” ujarnya.
Menurut Akmal, pihak-pihak yang tak bersalah harus dibersihkan namanya. “Mereka yang bersalah tapi bebas harus dihukum seberat-beratnya,” ujarnya. “Terutama para dalang.”
GADI MAKITAN