Akmal menilai politik Uang menjadi budaya yang sejatinya harus diperangi. "Tapi, karena mayoritas pengurus bola Indonesia masuk kategori ‘kaum miskin’ ini tak bisa dihindarkan,” kata Akmal.
Menurut Akmal, politik uang dalam Kongres PSSI sudah terjadi sejak era Nurdin Halid ketika pemilihan Ketua Umum PSSI di Hotel Indonesia pada 2003. Berlanjut sampai era Djohar Arifin Husein, dan La Nyalla Mattalitti. Sebelumnya tak ada praktik politik uang. Maklum, pengurus PSSI ditunjuk langsung oleh Presiden.
Kini, budaya itu tampaknya masih akan berlanjut. Litbang #SOS mendapatkan informasi ada satu kubu yang sudah memberikan uang muka sampai 8.500 dolar AS per suara. Sementara kubu lain tak mau kalah. Kini, nilainya sudah mencapai Rp 1 miliar. Uang taktis itu secara tak langsung “membutakan” voter.
Untuk menjaga agar suara tak lari, dua hari jelang Kongres, para voter pendukung diinapkan di satu tempat dan dikawal ketat. Alih-alih untuk melakukan koordinasi, kubu Muldoko mengumpulkan pendukung setia dan pemilik suara di Hotel Royal, Kuningan. Sementara kubu Edy Rahmayadi “bertapa” di Hotel Borobudur. Hotel Marcure yang disiapkan sebagai tempat Kongres hanya menjadi tempat peristirahatan kawan-kawan para pemilik suara.
Tim sukses Muldoko menyatakan sudah memegang 65 pemilik suara. Sementara kubu Edy Rahmayadi dengan K-85 mengaku solid dengan 85 suara.Bahkan, percaya diri kini sudah didukung 90 suara. Bila ditotal 65 tambah 90 berarti ada 155 suara. Padahal, pemilik suara PSSI hanya 105.
“SOS berharap para pemilik suara menggunakan hati nuraninya saat pemilihan dengan memilih 15 paket exco berdasarkan kemampuan dan potensi perbaikan tata kelola sepak bola Indonesia.
Bukan semata karena besaran uang. Katakan tidak pada politik uang,” kata Akmal.
Selanjutnya: Dua langkah mencegah politik uang