TEMPO.CO, Jakarta - Nathalie Boy de la Tour terpilih sebagai perempuan pertama yang menjadi Presiden Liga Sepak Bola Prancis (LFP). Dia terpilih setelah LFP menggelar sidang pada Jumat lalu. Dalam sidang itu juga dipilih dewan administratif baru untuk mandat selama empat tahun.
Sejumlah tantangan dan masalah telah menghadang sejak perempuan berusia 48 tahun itu terpilih menjadi presiden. Boy de la Tour mengatakan tugas pertamanya sebagai presiden adalah mengembalikan "kepercayaan dan kohesi" liga Prancis. Selama ini, ada perselisihan antara presiden klub di divisi pertama dan kedua. "Kita semua akan bekerja bersama menuju hal ini."
Boy de la Tour sebenarnya bukan nama baru dalam dunia sepak bola Prancis. Dia telah berkecimpung dalam dewan sepak bola Prancis sejak tiga tahun lalu. Dia menjadi wanita pertama yang terpilih untuk menjabat Dewan Administratif LFP pada 2013. Selain itu, dia ikut mengelola organisasi yayasan sepak bola selama delapan tahun terakhir.
Dia menjadi Presiden LFP menggantikan Frederic Thiriez, yang mengundurkan diri pada April lalu. Boy de la Tour terpilih setelah calon lainnya, mantan pelatih Prancis, Raymond Domenech, ditolak oleh dua pertiga dari anggota Majelis Umum LFP. Pelatih yang membawa Les Bleus ke final Piala Dunia 2006 itu sebelumnya diajukan oleh Dewan Administratif yang baru terpilih.
Domenech, 64 tahun, sebelumnya menjabat Kepala Serikat Pelatih Profesional Prancis (UNECATEF) dan masih bekerja di media sejak mengakhiri kariernya sebagai pelatih selama enam tahun di tim nasional pada 2010. Pencalonannya pekan lalu ditarik sehingga membuka jalan bagi Boy de la Tour untuk terpilih.
Adapun permasalahan yang terjadi di Liga Sepak Bola Prancis antara lain mengenai pembagian keuntungan dari siaran televisi musim mendatang. Ada 20 klub di Liga 1 yang berunding dalam rangka mencapai kesepakatan mengenai pembagian upah untuk mengakhiri konflik mereka.
Sebanyak sembilan klub kecil di Prancis, termasuk Montpellier dan Rennes, tidak senang pendapatan tahunan dari jackpot sebesar 748,5 juta atau sekitar Rp 10,7 triliun itu harus dibagi selama empat tahun ke depan.
Adapun klub-klub yang tidak masuk dalam kelompok elite di liga primer Prancis, seperti Paris Saint-Germain, Lyon, dan Monaco, mengeluhkan soal rasio pembagian kue keuntungan dari liga. Menurut mereka, pembagian untuk klub yang berada di puncak liga primer dengan yang berada di papan bawah terlalu besar.
Dalam pertemuan maraton selama lima jam di Paris pada Kamis lalu, wakil-wakil dari 20 klub di Ligue 1 akhirnya mencapai kata sepakat bahwa pembagian keuntungan dari siaran televisi untuk tim papan atas dan tim papan bawah akan turun dari 1 : 4,1 untuk musim ini menjadi 1 : 3,6 untuk musim depan. Kemudian, pembagian itu akan berubah lagi menjadi 1 : 3,2 untuk dua musim berikutnya.
Setelah itu, kontrak hak siar televisi akan diperbarui lagi menjadi 1 miliar euro (Rp 14,3 triliun) atau lebih per musim. Rasio pembagiannya antara klub pertama dan ke-20 akan turun menjadi 1 : 2,5 dan 1 : 2,2 jika kesepakatan hak naik menjadi € 1,5 miliar per tahun.
Untuk membuat perbedaan dengan musim ini, tiga tim yang terdegradasi pada Mei lalu akan menerima pembayaran 2 juta euro sebagai dana pertolongan.
Dalam pertemuan itu juga dicapai kesepakatan bahwa ada delapan presiden akan bertarung dalam pemilihan untuk duduk di Dewan Administratif Liga Sepak Bola Prancis. Bernard Caiazzo, Presiden Liga Primer dan Ketua Dewan Pengawas Saint-Etienne, mengatakan bahwa jika mereka tidak bisa bersatu, bagaimana akan melawan tim dari liga asing. “Saya senang kita bisa bersama-sama lagi.”
GUARDIAN| ESPN| NUR HARYANTO