TEMPO.CO, Jakarta - Dua kisah nan lengkap pernah dialami Antonio Conte semasa menjadi pemain Juventus. Kisah pertama, menyesakkan. Pada musim 1999/2000, saat liga tersisa empat pekan, klub asal Turin itu perkasa dengan selisih lima poin atas klub di bawahnya.
Tapi nasib baik tak berpihak pada mereka. Dua kekalahan tandang, yakni di Verona dan Perugia, berakibat fatal. Mereka gagal menjadi juara. Lazio, yang saat itu dipegang Sven-Goran Eriksson, yang sukses mengangkat piala.
Nasib sebaliknya menghampiri dua tahun kemudian. Conte, yang saat itu berstatus pemain veteran, terperangkap bersama pasukan Marcello Lippi di peringkat ketiga, di bawah AS Roma dan Inter Milan. Tapi kemudian mereka menang dalam lima laga terakhir, sementara Inter Milan tersandung. Mereka pun menjadi juara.
Baca: Bali United Ditinggal Indra Sjafri, Apa Kata Irfan Bachdim?
Dua pengalaman ini benar-benar dicatat dengan baik oleh Conte, terutama dalam menghadapi persaingan di Liga Primer—yang sudah masuk pekan ke-22. Conte, yang bersama Juventus merebut scudetto lima kali sebagai pemain dan tiga kali sebagai manajer, merasakan kepedihan dalam pengalaman pertama. “Saya menang dan kehilangan gelar juara hanya dalam empat pekan,” katanya.
Pesan Conte jelas. Dia ingin menyampaikan kepada siapa pun di Chelsea bahwa semua kemungkinan, yang baik maupun buruk, bisa terjadi dalam perjalanan mereka mengejar gelar juara. “Saya dan para pemain harus menyadari betul liga ini akan sangat ketat hingga akhir,” katanya.
Baca: Presiden Jokowi Bentuk Tim untuk Memajukan Sepak Bola
Dalam 10 tahun terakhir, persaingan di Liga Inggris relatif longgar hanya pada 2013 dan 2015. Manchester United dan Chelsea melaju dengan mulus dari awal hingga akhirnya merebut juara.
Namun tidak dalam beberapa musim lainnya. Pada 2012, dua klub Manchester bersaing hingga detik-detik terakhir liga. City akhirnya menang setelah unggul selisih gol.
Pertarungan seru juga terjadi pada musim 2013-/2014. Saat itu, Manchester City, Chelsea, dan Liverpool bersaing ketat hingga akhir musim.
Saat tengah berada di puncak, Liverpool terpeleset ketika bertanding melawan Chelsea. Kekalahan yang amat fatal, karena yang terjadi kemudian Manchester City menyodok ke peringkat pertama dan menjadi juara.
Baca: Klub Peserta Piala Presiden Tolak Pakai Aturan Baru ISL
Musim lalu pun tak kalah seru. Leicester, yang menjadi kuda hitam, berhasil menyalip Tottenham Hotspur dan kemudian menjadi juara untuk pertama kalinya.
Bagaimana dengan musim ini? Laju kemenangan 13 kali beruntun Chelsea akhirnya dihentikan Tottenham Hotspur. Bersama Arsenal, pasukan asuhan Mauricio Pochettino itu diprediksi menjadi tim yang mampu memberikan perlawanan terhadap Chelsea.
Penampilan Spurs terus menanjak dan diprediksi berjalan konstan hingga dua atau tiga bulan ke depan. Tentu ini berbeda dengan dua klub lainnya, yakni Liverpool dan Manchester City. Pada awal musim mereka amat perkasa, tapi belakangan keduanya kerap tersandung.
Ihwal persaingan merebut gelar juara, Pochettino pernah mengatakan keadaan saat ini lebih menguntungkan pihaknya ketimbang pada musim lalu. “Saat itu, kami tertekan oleh pergerakan Leicester City. Saya kira pada musim ini kami berada dalam posisi seperti mereka,” katanya.
Baca: Ferguson Puji Kinerja Mourinho di Manchester United
Yang dimaksudkan pelatih asal Argentina itu jelas. Dia menginginkan pasukan The Lily Whites menjadi penekan bagi Chelsea—sambil berharap The Blues tersandung seperti yang mereka alami. “Kini mereka seperti kami,” katanya.
Namun Spurs, seperti dikatakan Pochettino, hanya berusaha bermain baik secara konsisten. Buahnya sudah mereka dapatkan. Berpekan-pekan berada di posisi kelima, tiba-tiba, saat tim lainnya mulai, mereka berhasil melangkah ke posisi kedua menempel Chelsea.
The Blues tentu saja diuntungkan oleh absennya mereka dalam kompetisi Eropa. Mereka menjadi lebih fresh dan mampu menjaga konsentrasi di liga. Sebaliknya, Spurs masih harus memecah fokus untuk upaya mereka di Liga Europa.
Tentu saja hal ini membuat Chelsea di atas angin dengan keunggulan delapan poin di atas Spurs. Namun Conte tak mau gegabah. Dia akan lebih mengingat peristiwa buruk yang terjadi pada 2000 dibanding ketika menjadi juara. Dia tentu tak ingin pengalaman yang menyakitkan itu kembali terjadi.
INDEPENDENT | DAILYMAIL | BBC | IRFAN