TEMPO.CO, Jakarta - Wanita itu sempat terkejut dan terlihat ragu-ragu. “Anda wartawan tulis atau televisi?” tanyanya, menyelidik.
Setelah yakin Tempo adalah wartawan tulis, ia kemudian dengan ramah menyambut dan mempersilakan untuk masuk ke rumahnya yang terlihat asri dan bersahaja.
Rumah bernomor 11 yang lengang itu adalah rumah pertama dari jejeran rumah di lingkungan Jalan Avenue du Stade, Braine-le-Comte, Belgia. Selebihnya, terlihat hanya padang rumput yang meninggi di seberang jalan.
Lapangan sepak bola Royale Stade Brainois di Braine-le-Comte, tempat Eden Hazard pertama kali mengenal permainan sepak bola, hanya sebatas pagar belakang halaman rumahnya.
Hazard akan menjadi kapten sekaligus pemain andalan Belgia saat melawan Wales dalam laga perempat final Piala Eropa 2016 di Stade Pierre-Mauroy, Villeneuve-d'Ascq, dekat Lille, Prancis, Sabtu mendatang.
Gelandang serang klub Chelsea ini menjadi bintang kemenangan 4-0 Belgia melawan Hungaria pada babak 16 besar, Senin lalu.
Di dalam rumah besar yang tampak bersahaja itu, terlihat berbagai barang tersebar di mana-mana. Hampir di setiap sudut rumah terlihat mainan anak-anak, baju-baju yang baru saja dicuci, tumpukan buku, jejeran sepatu dengan berbagai ukuran, dan berbagai macam perabotan—tipikal rumah-rumah Belgia pada umumnya.
Foto-foto di dinding memperlihatkan foto pernikahan Hazard beserta sejumlah foto ketiga anaknya. Di dinding rumah keluarga itu juga bertaburan foto saudara-saudara Hazard yang lain, yaitu Thorgan, Kylian, dan Ethan.
Sambil mengurusi cucu-cucunya, wanita itu bercerita bahwa ia memutuskan untuk tidak menerima wartawan lagi. “Tapi Anda wartawan Asia pertama yang saya temui, tak apalah saya memberi pengecualian,” kata Carine Venderbecq, ibu Hazard.
“Maaf, sejak awal tahun lalu sebetulnya saya sudah berhenti menerima wartawan. Keberadaan mereka sering mengganggu privasi kami, khususnya wartawan-wartawan Inggris yang entah bagaimana tahu di mana kami tinggal. Kami terpaksa mengganti nomor telepon rumah karena keseringan menerima telepon dari wartawan,” kata Carine.
Sejak putra tertuanya itu bermain untuk Chelsea, kehidupan sehari-hari mereka yang biasanya tenang di desa kecil Braine-le-Comte itu sering terinterupsi.
“Kami tentu saja bangga, Eden bisa menjadi pemain sepak bola profesional dan bekerja di klub yang juga profesional. Itu adalah pekerjaannya, tapi rupanya kami juga kadang ikut dibawa-bawa,” kata Carine.
Siang itu, ia baru saja tiba di rumah bersama tiga cucunya—dua di antaranya adalah anak Hazard, yaitu Yanis, 5 tahun, dan Léo, 3 tahun.
“Mereka masih berusia taman kanak-kanak, jadi belum wajib sekolah. Mereka berdua dititipkan di sini sejak Eden ikut Piala Eropa 2016 di Prancis. Saya bergantian dengan orang tua istri Eden yang juga tinggal tidak jauh dari sini. Yang paling kecil masih menyusui, jadi ikut Eden bersama istrinya di Prancis,” tutur Carine.
Yanis, anak tertua Hazard, tiba-tiba datang menginterupsi percakapan. Dia meminta izin untuk main kelereng di halaman. Carine dengan telaten membuka pintu ke arah halaman sambil memperingatkan anak-anak tersebut untuk berhati-hati. “Yanis persis seperti Eden waktu kecil. Anak yang sangat mudah dan tidak merepotkan,” kata Carine, yang hingga saat ini masih bekerja sebagai guru olahraga di sekolah menengah lokal.
Wanita paruh baya itu bercerita, semasa kecil, Hazard sama seperti anak-anak lain yang gemar bermain dan berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Carine tidak hanya bangga atas keberhasilan Hazard. Kebanggaan Carine kepada anak-anaknya terlihat jelas dari wajahnya yang berseri-seri setiap kali bercerita tentang masa kecil keempat putranya.
Hari itu ia mengenakan kaus bergambar keempat wajah anaknya dengan tulisan Hazard Tournament. Sebagai bagian dari komunitas Braine-le-Comte, desa kecil yang berjarak sekitar 15 kilometer dari La Louviere, dua orang tua Hazard aktif melakukan kegiatan-kegiatan olahraga atas nama anak-anaknya. Braine-le-Comte memang sering dijuluki Hazard Village atau Desa Hazard.
Menurut Carine, tidak ada yang berubah dari Eden meski sudah terkenal di dunia sepak bola. Istri Hazard, Natacha, juga tidak memperlihatkan gejala-gejala orang kaya baru. Hazard, misalnya, sering berpesan agar anak-anaknya tidak terekspos di media. Carine juga meminta Tempo agar tidak mengambil foto dua anak-anak Hazard.
“Mereka keluarga sederhana dan tetap sederhana hingga sekarang. Buktinya, ketimbang menyewa pengasuh bayi untuk menjaga anaknya, mereka lebih percaya menitipkan anak-anaknya ke saya atau ke mertuanya. Bukan karena mereka tidak sanggup membayar pengasuh bayi, lho,” kata Carine, tertawa.
Menitipkan anak-anak ke nenek mereka merupakan kebiasaan rutin bagi keluarga-keluarga di Belgia yang ikatan keluarganya masih sangat erat. “Hingga saat ini, Eden juga masih suka masak sendiri. Dia memang dari dulu suka masak. Kebiasaan itu tidak berubah sampai sekarang,” Carine bercerita.
Sebagai guru olahraga, Carine dan suaminya, Thierry, sebetulnya tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk menjadi olahragawan. “Tapi mungkin kondisinya yang membuat mereka akhirnya condong ke olahraga,” kata Carine.
Hazard tidak hanya lihai bermain sepak bola. Ia juga aktif mengikuti olahraga seni bela diri judo, pandai berenang, senang bernyanyi, serta sering ikut pertandingan sepeda dan atletik.
Meskipun sudah bermain sepak bola sejak umur 5 tahun, Hazard baru benar-benar memutuskan untuk serius bermain sepak bola pada umur sekitar 11-12 tahun. Maklum, lapangan sepak bola Royale Stade Brainois berdampingan dengan rumah keluarga itu. Pekarangan belakang rumah keluarga Hazard langsung terhubung dengan lapangan sederhana yang tampak lengang ketika Tempo datang berkunjung.
Sesekali, Hazard masih bermain di lapangan itu setiap kali berkesempatan untuk pulang menjenguk orang tuanya. Sayang kesempatan itu jarang datang. “Bahkan ketika liburan Natal pun, di Inggris mereka masih harus terus berlatih. Akhirnya kami yang sering ke sana menjenguk,” kata Carine. “Sebab, bagi Eden, keluarga adalah nomor satu. Setelah itu, baru sepak bola,” kata Carine, yang terpaksa mengakhiri percakapan karena terdengar cucunya berteriak minta tolong lantaran kelerengnya tersangkut di celah pagar.
ASMAYANI KUSRINI (BRAINE-LE-COMTE, BELGIA)