TEMPO.CO, Jakarta - “Mungkin Liverpool dalam sejarahnya ditakdirkan untuk menjadi runner-up,” kata Arsene Wenger yang dikutip sejumlah media di Inggris. “Berkali-kali sudah hampir juara dan begitu luar biasa sepanjang musim, tapi kemudian terpeselet pada saat-saat akhir,” Wenger melanjutkan.

Prediksi Arsene Wenger itu diucapkan sekitar sepekan sebelum Liga Primer Inggris musim kompetisi 2018-2019 berakhir pada 12 Mei.

Liverpool akhirnya memang gagal menjuarai divisi tertinggi Liga Inggris itu untuk pertama kali sejak mereka terakhir memenanginya pada musim 1989-1990.

Kali ini adalah perjuangan Liverpool yang paling heroik dan paling sengit dalam sejarah persaingan perebutan gelar juara Liga Primer Inggris karena selisih raihan nilai akhir hanya kalah satu poin dengan Manchester City.

Prediksi Wenger tersebut patut diperhatikan. Ia punya modal untuk itu. Pria Prancis berusia 69 tahun ini sudah 32 tahun berkiprah di Liga Primer Inggris sebagai manajer Arsenal. Ia pun baru meninggalkan Arsenal pada 2018.

Sebagai pelatih sarat pengalaman dan kenyang rasa asam-garamnya Liga Inggris dan Eropa, Wenger tentu punya pengamatan yang tajam untuk bisa melahirkan prediksi yang tentu saja tak mengenakkan buat suporter Liverpool di seluruh dunia ini.

Wenger seperti orang suci yang melakukan ramalan yang menakutkan bagi warga “You’ll Newer Walk Alone (YNWA)” Liverpool, karena sudah terbukti pada Liga Primer Inggris musim 2018-19 ini.

Tapi, bagaimana dengan kiprah Liverpool pada final Liga Champions melawan sesama klub Liga Primer Inggris, Tottenham Hotspur, di Wanda Metropolitano Stadium, Madrid, Spanyol, Minggu dinihari, 2 Juni 2019?

Pentas di stadion milik Atletico Madrid itu juga masih dalam skenario prediksi Wenger. Liverpool dikalahkan Real Madrid pada final Liga Champions musim lalu di Ukraina. Status runner-up ini bisa menghantui Liverpool

Klub berjuluk Reds ini sudah menjuarai kejuaraan utama antarklub Eropa, yang dari European Cup menjadi UEFA Champions League ini lima kali, yaitu pada 1977, 1978, 1981, 1984, dan 2005.

Tapi, dua dari tiga kali menjadi urutan kedua atau runner-up yang diraih Liverpool terjadi pada saat terakhir yaitu pada 2007 dan 2018. Sedangkan ketika menjadi runner-up pada 1985, kiprah mereka diwarnai dengan tragedi di Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Saat itu 39 orang suporter Juventus meninggal sebagai dampak dari serangan kelompok hooligan Liverpool. Akibatnya, klub-klub Inggris dilarang main di Eropa selama lima tahun.

Bila melihat bagaimana Liverpool finis pada Liga Primer Inggris 2018-19 di urutan kedua dan Tottenham Hotspur di urutan keempat, Reds asuhan manajer asal Jerman, Jurgen Klopp, layak diunggulkan melawan rivalnya dari London asuhan manajer dari Argentina, Mauricio Pochettino, itu.

Liverpool juga mengagetkan dunia ketika bisa menggilas Barcelona sampai 4-0 pada semifinal kedua Liga Champions sehingga lolos ke final dengan keunggulan agregat 4-3.

Tapi, Tottenham Hotspur membuktikan posisi tim lebih favorit seperti yang dimiliki Ajax Amsterdam bukanlah sebuah jaminan. Tottenham menumbangkan Ajax begitu dramatis 3-2 pada semifinal kedua pada injury time sehingga lolos ke final berkat keungguan di gol tandang pada kedudukan agregat 3-3.

Musim ini, Liverpool mengalahkan Tottenham Hotspur dua kali masing-masing dengan skor 2-1 di kejuaraan lokal. Tottenham juga baru sekali tampil pada final Liga Champions.

Persis seperti pada perjalanan Liga Primer Inggris musim ini, Liverpool tampak lebih dominan dari Tottenham Hotspur menjelang mereka bertemu pada final Liga Champions di Madrid, Spanyol, Minggu dinihari, 2 Juni 2019.

Tapi, yang dominan itu kata Wenger, tak selamanya menjadi juara pada akhir musim. Mungkinkah ramalan Arsene Wenger soal Liverpool akan terbukti lagi?