Kisah Pemain Liverpool dan Kekuatan Lain dari Langit
Reporter
Irfan Budiman
Editor
Nurdin Saleh
Sabtu, 18 Januari 2020 10:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Alisson Becker, kiper Liverpool 27 tahun, terharu. Pemain asal Brasil itu menutup wajahnya dengan tangan. Jemarinya menyeka air mata yang meleleh di pipi.
Kejadian ini bukan terjadi di Doha, Qatar, saat Liverpool menjadi juara dunia antarklub, akhir tahun lalu. Tapi, ini terjadi di sebuah acara pembaptisan, Rabu lalu.
Siang itu, Firmino, 28 tahun, menjalani pembaptisan di kolam renang di rumahnya. Pemain Liverpool lainnya yang hadir adalah Fabinho.
Seusai prosesi, pemain yang juga berasal dari Brasil itu kemudian mendekap erat Larissa, istrinya. Saat itulah air mata Alisson jatuh.
Di mata teman-teman setimnya, Alisson bukan semata piawai menjaga gawang tapi dia juga dikenal sebagai orang yang religius. Bersama Natalia, sang istri, dia juga rajin pergi beribadah.
Pembawaannya pun tenang. Selalu berucap hal-hal baik dan juga tentang kuasa Tuhan.
Hal ini berbeda dengan awal-awal kedatangannya ke Anfield. Ketika melakukan blunder saat melawan Leicester, dua musim lalu, dia memilih mengurung diri. Selama beberapa hari dia tak mau berbicara dengan siapa pun.
Namun kemudian dia menyadari. Siapa pun melakukan kesalahan, termasuk dia. “Rahasia orang bijak adalah belajar dari kesalahan orang lain,” katanya tentang hal itu.
Sejak itu, pembawaannya menjadi lebih kalem. Dia ingin menjadi teman bagi siapa pun yang tengah gundah. Dejan Lovren, salah satunya.
Pemain belakang Liverpool ini dikabarkan frustrasi akibat cedera panjang yang membuatnya tergusur dari tim inti The Reds. Namun kemudian dia berubah total menjadi orang yang tenang. Alisson adalah penyebabnya.
Selepas menjalani latihan ringan, kiper asal AS Roma itu berbicara dengan Lovren. Bukan obrolan biasa. Alisson meletakkan tangannya di pundak Lovren, lalu membisikkan sebaris kalimat.
“Kamu harus bersabar, Dejan. Waktumu akan datang. Kami percaya kepadamu,” kata Alisson seperti yang didengar salah seorang di dekat mereka. Ajaib, setelah itu Lovren berubah menjadi lebih kalem.
Selanjutnya: Origi Merasa Terbantu Agama
<!--more-->
Bukan hanya Lovren. Divock Origi, striker muda Liverpool, mengalami hal serupa. Meski dihantam cedera dan kemudian hanya menjadi pemain pelapis, dia tak gundah. Dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
“Agama saya menyuruh untuk bekerja keras dan tetap berfokus pada hal yang bisa membantu dalam hidup saya,” katanya suatu ketika seperti dimuat dalam situs resmi klub itu. “Semua itu membantu saya untuk menjadi lebih baik.”
Kondisi para pemain dan suasana di ruang ganti di Liverpool telah berubah. Selama ini, para pemain tidak pernah mengungkapkan sisi religiositas masing-masing.
Belakangan, kondisi itu berubah. Sebabnya, tak lain karena sang manajer, Juergen Klopp.
Dia tidak pernah melarang perbincangan soal itu. Apalagi di skuad kali ini, para pemain memiliki keyakinan yang berbeda. Sadio Mane dan Mohamed Salah adalah muslim.
Pelatih asal Jerman tersebut bukan orang yang rajin pergi ke gereja tapi dia percaya semua dalam hidupnya ada yang mengatur.
“Saat melihat kembali kehidupan yang saya jalani, saya merasa berada dalam jalan yang baik,” katanya tiga tahun lalu.
Selanjutnya: Apa yang membuat Klopp berubah?
<!--more-->
Ada yang membuat Klopp berubah. Tiga pekan sebelum menyatakan pensiun dari sepak bola pada 1998, dia kehilangan ayahnya yang meninggal akibat kanker hati.
Kematian yang membuatnya tersentuh dan berkesimpulan bahwa setiap orang berada dalam sebuah rencana Tuhan. Selanjutnya, dia pun menjadi religius.
Ungkapan tentang Tuhan, ikut terbawa dalam kesehariannya, termasuk saat menggelar konferensi pers. Begitu pun saat di ruang ganti.
Ketika bersiap untuk berlaga di Anfield melawan Barcelona dalam leg kedua babak semifinal Liga Champions, Klopp memompa semangat para pemainnya. Peluang mereka memang berat. Di Camp Nou, mereka tertinggal 0-3.
“Sebelum pertandingan, saya katakan kepada mereka, tidak mungkin," kata Klopp. “Tapi kita memiliki peluang.”
Klopp memiliki filosofi yang serupa dengan pendahulunya, Bill Shankly, yang juga menyelipkan nilai religiositas dalam menangani timnya. “Selama bersama dan bekerja keras, saat kesempatan datang kita bisa meraihnya,” kata Klopp berapi-api.
Hasilnya, mereka menang 4-0. Lalu di final, mereka menggusur Tottenham Hotspur dengan kemenangan 2-0.
Nun di bawah mistar gawang, tiap kali Liverpool mencetak gol–lewat Mohamed Salah dan Divock Origi–Alisson menengadahkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya ke langit.
Firmino pun tak henti-henti memandang ke arah langit. “Saya merasa malam ini, Tuhan bersama kami,” katanya selepas mengangkat trofi Liga Champions di Wanda Metropolitano, Madrid, Juni lalu.
Perjalanan pada musim ini pun tentu saja mereka jalani dengan memberikan usaha sebaik-baiknya di lapangan dan menyerahkan semua keputusan kepada Sang Penentu.
DAILYMAIL | THE ATHLETICS | IRFAN B