Kisah Johan Cruyff Membuat Dua Keajaiban di Barcelona
Editor
Nurdin Saleh TNR
Jumat, 25 Maret 2016 15:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sosok legendaris asal Belanda, Johan Cruyff, sudah berpulang, Kamis lalu. Ia meninggal pada usia 68 tahun setelah berjuang melawan kanker. Kepergiannya meninggalkan warisan tak ternilai untuk sepak bola dunia. Di Barcelona, peran besarnya lebih kental terasa.
Cruyff datang ke klub Spanyol itu sebagai pemain pada 1973. Lalu ia bergabung sebagai manajer pada 1988. Setelah kedatangannya itu Barcelona tak pernah sama lagi.
"Tak ada yang mungkin terjadi dalam sepak bola tanpa kedatangan dan karisma serta bakat Johan Cruyff,” kata Pep Guardiola, yang belakangan mampu menerapkan warisan gaya tiki-taka Cruyff saat melatih Barcelona. "Saya tak pernah takut membuat kesalahan dan untuk membawa ide baru ke lapangan. Itu semua karena Cruyff yang mengajarkan, 'Jika kamu memiliki gagasan, bagus, coba saja. Jika semuanya berjalan salah, jangan khawatir'."
Sebagai pemain, Cruyff membawa Barca meraih gelar liga untuk pertama kalinya dalam 14 tahun. Sebagai pelatih ia membawa El Blaugrana—julukan Barca—merajai Eropa. Namun warisannya melebihi trofi-trofi itu. Ada soal filosofi dan identitas.
Txiki Begiristain, yang pernah bermain di bawah kepelatihan Cruyff, mengenang sosok itu sebagai pelatih. "Ia tak pernah takut apa pun," kata dia. Ketika ada masalah apa pun di lapangan, solusinya hanya satu: bermain lebih menyerang dan lebih agresif. "Kami saat itu berpikir 'apakah dia sudah gila?'. Tapi akhirnya semua bisa dia yakinkan. Karena dialah Johan Cruyff!”
Berkat Johan Cruyff, Barcelona memiliki arah, identitas, dan filosofi baru. Kelebihan itu kemudian membuat klub Spanyol tersebut dikagumi seluruh dunia. Ia tak hanya menekankan soal kemenangan, tapi juga cara meraih kemenangan itu. Ia tak mau menang dengan cara biasa-biasa saja, melainkan ingin kemenangan yang diraih dengan gaya bermain indah.
Cruyff, pemain terbaik dunia yang saat itu dimiliki Belanda, bisa saja berlabuh di Real Madrid, tapi tidak. Karena dia sudah berjanji pada Vic Buckingham dan Rinus Michels yang saat itu menangani Barca, ia bahkan mengancam akan pensiun daripada dijual ke Real Madrid. Ajax akhirnya menjualnya ke Barca, menjadi pemain termahal dunia saat itu.
Setelah larangan memakai pemain asing dicabut, Cruyff melakukan debut melawan Granada pada Oktober 1973. Saat itu, Barcelona berada di urutan keempat terbawah klasemen dan hanya menang dua kali dari tujuh laga. Kedatangan Cruyff mengubah segalanya. Pada akhir musim itu, Barcelona menjadi juara untuk pertama kalinya sejak 1960.
“Cruyff adalah pemain sensional," kata mantan rekan setimnya, Juan Manuel Asensi. “Ia juga seorang pemenang. Perubahan mentalitas saat itu sangat brutal. Seperti kami sedang tenggelam dan ia menarik kami ke pinggir." Cruyff menekankan bahwa kesalahan para pemain Barcelona saat itu merasa inferior ketimbang Real Madrid. Mereka merasa sebagai korban. Mentalitas seperti itulah yang kemudian ia ubah.
Cruyff tahu betul apa yang ia lakukan, gaya yang ia ingin mainkan, sebagai pemain atau pelatih. "Ia adalah seorang seniman. Bahkan orang yang tak menyukai sepak bola berhenti untuk melihatnya," kata mantan staf medis Barcelona, Angel Mur.
Joan Laporta, yang kemudian jadi Presiden Barcelona, mengenang saat berusia 11 tahun, ia ingin seperti Cruyff. Ia bahkan memotong rambutnya meniru pemain idolanya itu, juga meniru gerakannya di lapangan. "Bila saya dilahirkan lagi saya ingin jadi Pep Guardiola. Karena saya tak berani untuk mengatakan saya ingin menjadi seperti Johan Cruyff.”
Cruyff adalah sosok sensasional. Keputusannya kerap berbeda. "Lebih baik jatuh karena ide sendiri daripada karena ide orang lain," kata dia. Orsinalitasnya itu membawa dia ke tempat lebih tinggi ketimbang pemain dan pelatih lain.
Saat datang sebagai pelatih pada 1988, Barcelona tengah dalam kondisi terburuk. Utang segunung, performa jeblok, dan penonton mulai menjauh. Cruyff membawa filosofi yang berbeda dari permainan Barca saat itu. Ia tak segera bisa memetik hasil sempurna, tapi akhirnya berhasil mencangkokkan kembali identitas permainan indah dalam tim seperti saat dia bermain.
“Itu adalah gagasan berbeda, cara baru melihat permainan,” kata Michael Laudrup. “Cruyff mungkin satu-satunya pelatih yang menyampaikan taktik yang baru Anda dengar dan akhirnya Anda berpikir 'Oh, ya, tentu saja!' Itu terdengar logis, tapi 90 persen pelatih lain tak akan bisa mengatakan hal sama."
Di bawah arahan Cruyff, Barcelona memenangi empat gelar liga secara beruntun. Mereka juga berhasil merebut trofi Eropa, setelah mengalahkan Sampdoria di Wembley pada Mei 1992. Charles Rexach, yang saat itu jadi asisten Cruyff, menyebut keberhasilan merebut trofi Eropa itu jadi pembebasan. Fatalisme yang saat itu melingkupi klub akhirnya terkalahkan. "Rasanya seperti hidup baru telah bermula."
Hidup baru di Barcelona terus bergulir hingga kini, ketika Cruyff akhirnya pergi untuk selamanya.
GUARDIAN | NURDIN