Kisah Dejan Lovren, dari Pengungsi Jadi Bek Liverpool
Editor
Febriyan
Kamis, 9 Februari 2017 16:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bek Liverpool, Dejan Lovren, memberikan simpatinya kepada para pengungsi pencari suaka yang terusir dari rumahnya karena perang dalam buku dokumentari berjudul "Hidup Saya Sebagai Pengungsi" yang dilansir oleh Badan Pengungsi Persatuan Bangsa-Bangsa (UNHCR). Lovren, memiliki pengalaman serupa ketika masih kanak-kanak.
Meskipun berkewarganegaraan Kroasia, Lovren sebenarnya berasal dari sebuah kota di Bosnia dan Herzegovina, Zenica. Dia lahir dan tumbuh besar di sana sebelum negara tersebut dilanda perang saudara pada 1992.
Lovren menceritakan bahwa dirinya mengalami pengalaman buruk setelah melihat pamannya sendiri dibunuh secara sadis di depan orang ramai dengan menggunakan pisau. Kejadian itu hingga kini masih membekas di benak pemain 27 tahun itu.
Baca:Janji Mengejutkan Mourinho buat Sekelompok Fan Manchester United
"Banyak orang dibunuh secara brutal. Paman saya dibunuh dibunuh di depan banyak orang dengan pisau. Saya tak pernah membicarakan soal paman saya karena sangat sulit membicarakan soal itu. Ayah saya kehilangan saudaranya, satu anggota keluarga kami, itu hal yang sangat sulit," ujarnya.
Lovren masih berusia 3 tahun saat perang saudara antara etnis Kroasia dengan Serbia pecah di Bosnia dan Herzegovina. Sebelum perang itu terjadi, menurut Lovren, kehidupan di Zenica berlangsung dalam keadaan damai dan tentram.
Dia sendiri tak tahu secara pasti kenapa perang saudara itu terjadi. Yang dia tahu, kehidupannya berubah secara drastis dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jerman.
"Itu terjadi secara tiba-tiba saja. Semuanya berubah dalam waktu satu malam, perang di antara semua orang, 3 suku berbeda. Semua orang berubah," ujarnya.
"Saya hanya ingat suara sirine yang menakutkan karena saya kira itu adalah suara bom. Saya ingat ibu saya membawa saya ke ruang bawah tanah. Saya tak ingat berapa lama kami berada di sana, tetapi sepertinya hingga suara sirine itu hilang."
Baca: Petinggi Manchester United Terkesan, Kontrak Mourinho Akan Diperpanjang
"Setelah itu, saya ingat ibu, ayah, paman, dan istri paman saya mengendarai mobil ke Jerman. Kami meninggalkan semuanya, rumah, toko kecil, semua ditinggalkan. Kami hanya membawa satu tas kecil dan berangkat ke Jerman," cerita Lovren.
Selanjutnya: Terusir dari Jerman
<!--more-->
Dia mengatakan bahwa keluarganya cukup beruntung karena saat itu pihak Jerman mengizinkan mereka masuk ke sana. Hal itu tak lepas dari peran kakek Lovren yang pernah bekerja di Jerman.
Namun hidup sebagai pengungsi di negeri orang memang tak pernah senyaman di rumah sendiri. Keluarga Lovren mendapat penolakan dari pemerintah Jerman ketika mereka mengajukan diri untuk tinggal lebih lama lagi di sana.
"Ayah dan ibu saya selalu meminta izin untuk tinggal lebih lama setiap enam bulan, tetapi selalu ditolak. Jadi setiap enam bulan ayah dan ibu saya selalu mengemasi barang kami untuk kembali. Itu masa yang sangat sulit, anda tak pernah mendapatkan masa depan di Jerman," katanya.
Baca: Michael Ballack Sarankan Oezil Hengkang dari Arsenal
"Ketika saatnya tiba mereka (pemerintah Jerman) berkata: 'Anda memiliki waktu dua bulan untuk mempersiapkan barang-barang anda dan pulang.' Bagi saya itu sangat sulit karena saya memiliki banyak teman di Jerman, hidup saya bermula di sana. Saya bahagia di sana, saya bermain di klub kecil dengan ayah saya sebagai pelatih, semuanya begitu indah."
"Ibu saya berkata:'Jerman adalah rumah kedua kita' dan itu benar. Jerman menerima kami dengan tangan terbuka. Saya tak tahu negara mana yang akan melakukan hal itu, pada saat seperti itu, menerima pengungsi dari Bosnia."
Keluarga Lovren kemudian pindah ke Kroasia untuk memulai hidup baru. Di sana, kedua orang tua Lovren harus membanting tulang karena semua harta mereka hilang akibat perang. Bahkan Lovren harus rela perangkat ski es yang dimilikinya dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Selanjutnya: Sepekan Tak Punya Uang
<!--more-->
"Ibu saya bekerja di mini market dengan gaji 350 euro per bulan, sekitar 280 pound sterling. Ayah saya bekerja sebagai tukang cat. Kami mengalami masa yang sangat sulit. Ibu saja sering berkata;'kita tak punya cukup uang untuk membayar listrik dan segalanya' dan terkadang sepekan penuh kami tak memiliki uang."
"Saya ingat ketika ayah saya menjual perangkat ski es saya. Suatu hari saya bertanya kepada ibu saya soal dimana perangkat ski es saya karena saya sangat suka bermain ski es di musim dingin. Dan ibu saya mengatakan bahwa ayah menjualnya karena kami tak punya uang. Ayah saya menjualnya sehargan 350 Kuna atau sekitar 40 pound sterling."
Baca: Pemain Ini Pengaruhi Jesus Pilih Man City Ketimbang Barca
Kenangan pahit seperti itu masih sangat terasa bagi keluarga Lovren. Dia mengatakan bahwa ibunya sempat tak setuju ketika dia meminta izin untuk menceritakan kisahnya dalam buku itu. Sang ibu bahkan sempat menangis agar Lovren tak membicarakan masa kelam keluarga mereka.
"Perang terasa baru belangsung kemarin. Ini adalah hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Ibu melarang saya untuk menceritakan soal ini, tetapi saya mengatakan bahwa saya akan menceritakannya dan dia menangis."
Lovren pun berharap keadaan akan lebih baik bagi para pengungsi saat ini. Dia berharap banyak negara mau memberikan kesempatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut dia, menjadi pengungsi bukanlah kesalahan mereka. Tak ada satu orang pun yang ingin terusir dari rumahnya karena perang.
"Mereka hanya ingin tempat yang aman bagi anak dan keluarganya di masa depan. Saya bisa melalui semua itu dan saya tahu bahwa banyak keluarga lain juga melewati itu semua. Berikan mereka kesempatan, berikan mereka kesempatan. Anda akan lihat siapa orang yang baik dan siapa yang bukan," ujarnya.
THEGUARDIAN|FEBRIYAN