TEMPO.CO, Jakarta - Penampilan tim nasional Indonesia U-16 atau Timnas U-16 saat berlaga di kualifikasi Piala AFC U-16 2020 cukup menjanjikan. Tim Indonesia U-16 yang menjadi tuan rumah dalam babak kualifikasi 14-22 September lalu tidak pernah kalah dalam empat laga, tiga kali menang dan sekali imbang. Kemenangan yang diraih pun dengan skor besar.
Saat menghadapi Filipina, Timnas U-16 menang 4-0. Kemudian membantai Kepulauan Mariana Utara 15-1. Setelah itu, mencukur Brunei Darussalam 8-0. Terakhir imbang 0-0 lawan Cina. Hasilnya, tim asuhan Bima Sakti ini lolos ke putaran final dan akan tampil di Piala AFC U-16 2020 di Bahrain pada September tahun depan.
Sebulan lalu, skuat yang sama berhasil finis di urutan ketiga saat tampil di ajang Piala AFF U-15 2019. Penampilan para pemain saat itu juga tidak buruk. Mereka menjadi juara grup, sebelum kalah di semifinal.
Berbeda dengan performa Timnas U-16, tim nasional Indonesia senior yang sebelumnya tampil melawan Malaysia dan Thailand dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta pada 5 September dan 10 September lalu, mengecewakan. Timnas senior yang ditangani pelatih Simon McMenemy kalah 2-3 lawan Malaysia dan 0-3 lawan Thailand.
Membandingkan penampilan Timnas U-16 dan Timnas senior, memunculkan pertanyaan. Apa yang menyebabkan Timnas Indonesia senior "melempem"?
Pelatih Rahmad Darmawan yang pernah menangani Timnas U-23 mengatakan prestasi Timnas Indonesia senior seperti sekarang ini karena sebelumnya tidak adanya kompetisi yang ideal pada jenjang junior. Kompetisi berjenjang dari U-16, U-18, dan U-20, kata dia, ada baru-baru ini. "Menurut saya itu sifatnya bukan kompetisi, tapi yang penting ada," kata pelatih yang akrab disapa coach RD ini saat dihubungi Tempo, Senin, 22 September 2019.
Pelatih berusia 52 tahun yang kini menangani klub Liga 1, Tira Persikabo, ini mengatakan, sebuah kompetisi level junior yang baik, syaratnya jumlah pertandingan antara 20-30 kali dalam setahun. Kalau di Indonesia, kompetisi berjenjang malah dibagi ke dalam tiga zona. "Cuma ada sekitar 8 atau 7 home-away jadi mainnya cuma 14 kali baru selesai, memang kurang," kata dia.
Rahmad menambahkan, buruknya kualitas kompetisi level junior membuat kemampuan pemain menjadi stagnan. Padahal, negara Asia Tenggara yang lain, terus mematangkan pemain junior dengan memfasilitasi dengan kompetisi. "Itu yang membedakan. Harusnya pemain itu semakin dimatangkan kualitasnya melalui kompetisi, tapi sementara ini kualitas kompetisi kita ini enggak ada," tuturnya.
Ia memberikan catatan, sebuah kompetisi yang berkualitas harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, kualitas dari setiap tim yang berlaga setara atau perbedaannya tidak jomplang. Lalu, jumlah pertandingan harus mencukupi dan ideal.
Rahmad juga menyoroti kompetisi junior. "Saya kemarin melihat ketika kompetisi junior masih sekedar mengenalkanlah. Ini ada kita kompetisi U-20, ada kompetisi U-18, kompetisi U-16, menurut saya itu belum sesuai dengan kompetisi yang menjadi syarat AFC dalam jumlah pertandingan," ucap dia.
Untuk infrastuktur, kata Rahmad, sebagian malah tidak memenuhi standar AFC. Sebagian tim, kata dia sudah menggunakan stadion untuk bertanding tapi masih banyak yang mengunakan lapangan ala kadarnya. "Kadang malah diberi lapangan yang grojal-grojal lah," kata dia.
IRSYAN HASYIM