Apakah ada rencana untuk pemusatan latihan di luar negeri?
Kalau untuk persiapan AFF, saya pikir akan fokus di Indonesia. Namun, kalau persiapan menuju kualifikasi Piala Asia, kita akan bicara ke PSSI untuk bisa TC di luar negeri atau membuat turnamen kecil untuk bisa beruji coba dengan negara lain yang kualitasnya harus berada di level kita. Kalau kita bermain dengan level negara-negara yang secara kualitas dan pengalaman bermain levelnya di bawah, level bermain kita juga akan segitu-gitu saja.
Apa target di Piala AFF?
PSSI belum memberi target, tapi saya sebagai pribadi, target saya adalah lolos ke Piala Asia. Kalau AFF itu bagian dari persiapan kami untuk kualifikasi Piala Asia 2025. Bukan berarti saya mengesampingkan AFF, tapi saya lebih fokus agar tim ini bisa lolos Piala Asia.
Setelah melatih Timnas U-16, bagaimana status Anda sebagai asisten pelatih di Timnas U-23?
Saat ini, saya masih berada di staf pelatih coach Shin. Kita masih mempersiapkan tim untuk pertandingan di kualifikasi Piala Dunia melawan Vietnam, Maret nanti, lalu kita juga masuk di Piala Asia U-23 itu masih bersama-sama. Tapi, setelah itu, mungkin saya akan fokus di U-16.
Membentuk timnas U-16 erat kaitannya dengan keberadaan kompetisi usia dini di Indonesia. Apakah kompetisi itu sudah ideal saat ini?
Itu menjadi masalah karena ada beberapa tim yang menyiapkan pemainnya saat turnamen akan berjalan. Menurut saya, itu tidak akan maksimal karena pemain baru diseleksi.
Ada beberapa yang punya akademi sepak bola sangat baik, seperti Persija Jakarta, Persis Solo, PSIS Semarang. Itu akan sangat baik karena pemain akan lebih tertata dalam berlatih, dalam berkompetisi, dan dalam asupan nutrisi makannya juga bisa lebih baik.
Kalau klub-klub yang hanya menyiapkan timnya satu bulan sebelum turnamen tentu tidak akan maksimal dan saya pikir itu akan sangat tidak baik. Itu menjadi kekurangan kita karena rata-rata klub Liga 1 menyiapkan timnya saat kompetisi mau berjalan. Yang benar-benar berjenjang itu belum ada.
Bagaimana perbaikannya?
Seiring berjalannya waktu banyak perubahan yang dilakukan PSSI. Waktu pandemi Covid-19 lebih parah. Ada sentralisasi, kompetisi EPA hanya 1-2 bulan. Disentralisasi kompetisinya di Jakarta dan main dua kali seminggu. Saya pikir itu enggak akan baik.
Saya lihat kompetisi EPA sudah mulai bagus. Mereka main setiap Sabtu atau Minggu. Mereka juga berpindah-pindah kota sama seperti kompetisi tim seniornya. Walaupun secara biaya lebih besar, saya yakin kompetisi yang ideal itu akan baik untuk para pemain mendapatkan jam terbang.
Bagaimana Anda merefleksikan kompetisi usia dini di Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia?
Di Korea, saya melihat sudah ada kompetisi khusus mahasiswa dan itu berjalan baik. Bahkan, di sana ada kompetisi untuk tim cadangan. Jadi, semua mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi. Itu akan lebih baik. Dengan kompetisi berjenjang, tertata dengan rapi, dan bisa berjalan kontinu, sepak bola akan lebih baik lagi. Ke depannya, kelompok usia dini ini yang akan menjadi masa depan timnas Indonesia.
Di Jepang, kompetisi sudah berjenjang dari tingkat sekolah. Semua tertata dengan baik dan berjenjang. Itu yang kita belum bisa dan harapannya kita bisa juga melakukannya.
Shin Tae-yong pernah mengakui adanya potensi pemain titipan untuk masuk ke timnas Indonesia. Bagaimana Anda merespons potensi serupa?
Itu menjadi dilema sendiri di timnas U-16. Kalau di tim senior lebih enak karena sudah ada kompetisi. Level U-23 juga kelihatan siapa saja yang sering bermain. Untuk U-16 ini memang waktu untuk seleksi tidak panjang. Saat ini, kita masih pakai sistem rekomendasi. Kalau rekomendasi itu belum tentu pemain itu yang terbaik, bisa saja karena dia dekat dengan pelatih atau yang punya SSB (sekolah sepak bola).
Namun, itu tidak masalah. Kami akan akomodasi semuanya dulu karena akan sulit bagi kami untuk membedakan ini titipan atau murni rekomendasi. Kita tidak bisa melihat mereka di kompetisi. Kita akan mengakomodasi semuanya, lalu kami tim pelatih di sini, akan melihat, siapa saja pemain yang memang mampu bersaing. Kami di sini ada tes fisik dan ada tim psikolog untuk melihat mental pemain, apakah mereka bisa menjadi pemain tim nasional.
Bagaimana komunikasi Anda dengan Bima Sakti, pelatih Timnas U-16 sebelumnya?
Saya bersyukur, coach Bima memberikan dukungan. Setelah penunjukkan kami berkomunikasi. Risikonya menjadi pelatih U-16, rata-rata, kita mencari pemain baru dari nol dan itu rawan pemain titipan. Kami benar-benar buta sama sekali dengan pemain U-16 sehingga semakin banyak potensi pemain titipan yang ikut seleksi. Tapi tidak apa-apa. Coach Bima berpesan agar kami mengakomodasi saja. Kami hargai, tetapi nanti kita saring lewat seleksi. Kalau jelek, ya tidak akan masuk.
Indra Sjafri pernah menggunakan metode blusukan mencari pemain. Anda akan melakukan hal serupa?
Kalau blusukan itu butuh waktu. Itu kenapa saya kejar pemain dari asprov (asosiasi provinsi PSSI). Saya berharap asprov melakukan seleksi lebih dulu, tapi benar-benar pelatih yang melakukan seleksi adalah yang benar-benar bersih, yang benar-benar ingin memajukan sepak bola Indonesia. Kalau pelatihnya masih suka pemain titipani, ya yang kesulitan kita karena datanya tidak valid.
Anda adalah asisten Shin Tae-yong di Timnas Indonesia dan sekarang pelatih kepala untuk level U-16. Perbedaan apa yang Anda rasakan?
Pasti berbeda tanggung jawabnya. Kalau pelatih kepala punya tanggung jawab yang besar, tanggung jawab mengngontrol pemain, staf pelatih, jadwal latihan. Kalau asisten pelatih, saya mendapatkan tugas yang spesifik karena berbagi tugas dengan pelatih lain. Kalau sebagai pelatih kepala, saya harus menyiapkan semuanya. Bagaimana kita membentuk tim dan dan filosofi apa yang akan kita pakai. Tentu itu bukan beban, tapi itu tugas yang harus disiapkan lebih awal.
Selanjutnya soal filosofi sepak bola dan rencana membangun tim...