TEMPO.CO, Jakarta - Lifter Eko Yuli Irawan, yang tengah bersiap ke Asian Games 2018, saat ini masih dalam tahap pemulihan karena sakit tifus sejak Senin pekan lalu. "Eko Yuli minggu depan baru latihan setelah recovery.
Belum langsung berlatih di kelas 69 kilogram," kata Dirja Wihardja, Manajer pelatnas angkat besi, di Jakarta, Jumat, 2 Maret 2018.
Dirja mengatakan, akibat sakit dan keputusan yang terkesan mendadak dari Federasi Angkat Besi Asia (AWF), Eko Yuli belum bisa langsung diproyeksikan berlatih untuk kelas 69 kilogram. "Kalau setelah tifus langsung ke kelas 69 kilogram nanti bisa tifus lagi," ujarnya dengan nada bercanda.
Baca: Asian Games, PB PABBSI: Ada Angin Segar untuk Nomor Eko Yuli
Terkait pemindahan kelas untuk atlet angkat besi, salah satu pelatih, Erwin Abdullah, berujar bahwa hal itu merupakan hal yang cukup sulit karena butuh waktu dan persiapan yang lama. "Tak cukup hanya enam bulan," ujar Erwin.
Selain butuh waktu dan persiapan yang lama, Erwin sebut bahwa atlet yang telah masuk pemusatan latihan nasional (pelatnas), sebelumnya sudah punya kelas masing-masing. Dari latihan, suplemen, dan kebutuhan lain tiap atlet tentulah berbeda.
Sebelumnya, nomor pertandingan 62 kilogram cabang olahraga angkat besi dinyatakan dihapus dari kelas yang akan dipertandingkan di Asian Games 2018, multi-event empat tahunan itu. Nomor ini merupakan andalan Eko Yuli untuk meraih medali.
Baca: Asian Games 2018: Nomor Eko Yuli Dicoret, KOI Kirim Surat Protes
Kabar ini dipastikan setelah muncul surat keputusan dari Asian Weightlifting Federation (AWF) pada 11 Februari lalu. "Atas nama Asian Weightlifting Federation, saya ingin memberitahukan keputusan AWF technical committee dan anggota eksekutif AWF menghapus kelas 62 kilogram di Asian Games ke-18," tulis surat itu. Surat keputusan itu ditandatangani Presiden AWF Mohamed Yousef Almana dan Sekretaris Jenderal AWF Boossaba Yodbangtoey.
Karena pencoretan nomor tersebut, Eko Yuli Irawan direncanakan akan diproyeksikan untuk bermain pada kelas 69 kilogram. Tapi, menurut Dirja, PB PABBSI tetap memperjuangkan pembatalan pencoretan kelas tersebut. "Saya maunya harga mati kelas 62 kilogram harus dipertandingkan."