TEMPO.CO, Jakarta - Setelah sukses menjuarai Piala Presiden, Arema FC mengalami antiklimaks di Liga 1 2019 yang sudah rampung, dengan “hanya” menduduki peringkat kesembilan dari 18 tim. Padahal, target mereka sempat membidik juara kemudian turun sedikit, menjadi runner-up.
Setelah meluncurkan kostum ketiga musim 2020, pengurus media Arema FC, Sudarmaji, seperti dikutip dari laman Liga Indonesia, menuturkan dalam waktu dekat manajemen tim berjuluk Singo Edan atau Ongis Nade akan menuntaskan negosiasi dengan pelatih baru Arema FC musim depan.
Sejumlah nama pun sempat dikaitkan dengan Arema FC, antara lain Roberto Carlos Mario Gomez, Gomes De Oliveira, Alfredo Vera, dan Edson Tavares, berdasarkan isyarat yang dikeluarkan manajemen adalah pelatih asal Amerika Latin.
Arema ingin mengubah gaya bermain mereka yang selama dua tahun terakhir bermain dengan gaya Eropa Timur. Musim depan manajemen Arema FC dapat mengubah gaya mereka ala Amerika Latin.
Berkiblat ke Latin adalah bukan hal baru bagi tim Arema. Adalah penyerang urakan dan nakal, Rodriguez “Pacho” Rubio, dan gelandang playmaker, Rodrigo Araya, dari Cile yang menegaskan identitas khas Latin Singo Edan pada periode 1999-2000.
Yang paling melegenda dari aksi Pacho Rubio dan Rodrigo Araya didukung Charis Yulianto dan kawan-kawan dalam putaran delapan besar Liga Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada era 2000.
Saat itu warna biru khas Arema mendominasi kawasan Gelora Bung Karno, terutama dengan kehadiran suporter Aremania yang atraktif dan menghibur di dalam dan luar lapangan.
Pacho Rubio cs mampu mengalahkan Persija Jakarta 2-1 dan mengimbangi Persikota Tangerang 1-1. Tapi, langkah Arema mesti terhenti pada delapan besar setelah dihentikan Pelita Jaya.
Tapi, Arema FC saat itu, yang ditangani salah satu pelatih tersohor Indonesia, M. Basri, sudah merebut hati penonton meski dengan diwarnai sisi kontroversial. Permainan keras, tak jarang menjurus kasar, dan sikap temperamental –antara lain tergoda untuk memukul lawan- membuat Pacho Rubio mendapat sanksi seumur hidup dari PSSI.
Tapi, Pacho Rubio dan Rodrigo Araya dikenang sebagai pemain Amerika Latin bermain sesuai karakter singa khas Arema, ngotot atau ngeyel, keras, dan cepat.
Dengan persiapan awal yang telah dilakukan, manajemen berharap Arema FC dapat meraih hasil yang positif pada musim depan. Apalagi performa Arema FC musim ini pada putaran kedua mengalami penurunan performa yang membuat target Arema FC berubah.
Untuk itu setelah melepas pelatih Milomir Seslija dari Bosnia, manajemen Arema FC telah melakukan banyak evaluasi guna menyambut musim depan yang rencananya akan bergulir bulan Maret 2019. "Manajemen sudah lakukan persiapan diawal semoga hasilnya lebih baik lagi," kata Sudarmaji.
Arema FC pernah berjaya dengan sentuhan Amerika Latin ala Pacho Rubio dan Rodrigo Araya. Permainan ngotot, keras, dan cepat khas mereka sudah dirintis jauh sebelumnya oleh generasi Aji Santoso, Singgih Pitono, dan kawan-kawan pada periode 1980-0 saat Kota Malang masih menjadi barometer musik rock dengan gedung GOR Pulosari di kawasan Kawi yang legendaris dan kini sudah tiada itu.
Jika Arema FC akan kembali menoleh ke gaya sepak bola Amerika Latin seperti yang dijelaskan Sudarmaji sebenarnya itu mewakili kultur warga kotanya yang ekpresif dan dinamis.
Di tengah-tengah kesan keseragaman gaya permainan yang menjurus seragam dan monoton, Liga 1 2020 butuh ledakan-ledakan untuk membuatnya lebih menjual sebagai industri sepak bola dan juga dari segi pengembangan kualitas. Arema FC rasa Amerika Latin bisa menjadi salah satu stimulannya.