TEMPO.CO, Jakarta - Wabah virus corona alias Covid-19 bikin Asosiasi Sepak Bola Inggris atau FA cemas. Sejak 14 Maret lalu semua kompetisi sepak bola di Inggris ditunda.
Mulanya, penundaan ditargetkan rampung awal April. Namun akhirnya mereka merevisi keputusan tersebut hingga akhir April.
Faktanya, Inggris belum mampu mengalahkan wabah virus yang berasal dari Wuhan, Cina, itu. Tercatat hingga kemarin jumlah kasus positif Covid-19 di Inggris mencapai 55.242, korban meninggal 6.159, dan 135 orang dinyatakan sembuh.
Kini Inggris memberlakukan status darurat untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II. Wakil Kepala Petugas Medis Inggris, Jenny Harries, menyebutkan pemerintah butuh waktu lebih panjang lagi untuk menghentikan wabah virus corona.
"Tak bisa begitu saja kembali berkegiatan seperti dulu kala. Itu sangat berbahaya, bisa jadi ada puncak jangkitan kedua," kata Harries.
Menurut perempuan berusia 55 tahun itu, setidaknya Inggris masih akan membatasi segala macam kegiatan hingga enam bulan ke depan. "Kami akan terus mengkaji setiap tiga pekan untuk melihat perkembangan penanganan Covid-19," kata Harries.
Pernyataan tersebut tentu bikin FA semakin pesimistis bisa menuntaskan kompetisi musim 2019/2020. Salah satu beban pikiran terberat FA adalah Liga Primer.
Ketua FA, Gregory Alisson Clarke, pun sempat berujar bahwa upaya melanjutkan kompetisi Liga Primer semakin mustahil. Menurut Clarke, dalam kondisi darurat kesehatan saat ini, nyawa masyarakat jadi prioritas nomor satu.
Walhasil, bukan sebuah keputusan yang bijak jika melanjutkan kompetisi di tengah pandemi, meski di dalam stadion sepi. Sebab, sama saja FA mempertaruhkan keselamatan pemain, pelatih, wasit, dan semua orang yang terlibat dalam sebuah pertandingan.
"Kita harus menaati instruksi pemerintah soal isolasi diri dan jarak sosial. Masalahnya, tak ada yang tahu kapan hal ini akan berakhir," kata pria berusia 62 tahun itu.
Bahkan ketika jumlah kasus positif Covid-19 di Inggris sudah menurun pun, belum tentu pemerintah akan mencabut aturan soal isolasi diri dan jarak sosial. Sama artinya belum tentu FA mendapat izin dari pemerintah untuk melanjutkan liga.
Menurut Clarke, sampai saat ini FA masih berkomitmen untuk menuntaskan seluruh kompetisi domestik di Inggris musim ini. Sebab, ia paham betul ada konsekuensi promosi dan degradasi yang wajib diselesaikan. Namun lagi-lagi Clarke tak bisa menjamin komitmen tersebut bisa terwujud.
"Mungkin kami tidak dapat menyelesaikan kompetisi musim ini karena sepak bola bukan prioritas di masa pandemi seperti ini. Kami akan ikut semua aturan pemerintah," kata Clarke.
Jika benar Liga Primer musim ini tak pernah rampung, risikonya bukan sekadar tak ada klub promosi atau degradasi. Risiko terbesarnya adalah kerugian materi yang luar biasa, yang terbesar adalah hak siar yang telah dibeli televisi.
Menurut Daily Mail, FA, otoritas Liga Primer, dan 20 klub peserta terikat kontrak penyiaran Liga Primer musim ini bernilai 3 miliar pound sterling atau sekitar Rp 54 triliun. Sesuai dengan kontrak, penyiaran laga Liga Primer harus kelar paling lambat 26 Juli mendatang.
Jika tidak, Sky Sports, BT Sport, dan pemegang hak siar lain berhak mendapat potongan senilai 762 juta pound sterling atau sekitar Rp 13, 8 triliun. Tentu saja, operator liga hingga klub keberatan dengan pemotongan pemasukan mereka dari hak siar. Belum lagi bagi kompetisi kasta bawah, badai keuangan karena virus corona bisa bikin klub bangkrut.
"FA sendiri akan menderita kerugian hingga 150 juta pound sterling atau sekitar Rp 3 triliun selama dua tahun ke depan karena virus corona," kata pria kelahiran Leicester itu.
Meski begitu, ia tetap berharap pemerintah bisa memberikan kelonggaran untuk semua kompetisi merampungkan sisa pertandingan mereka. Setidaknya, selesainya musim ini bisa membantu keuangan klub. Namun, jika tidak, terpaksa kompetisi harus diakhiri secara prematur.
Ini juga bisa menjadi masalah. Perdebatan siapa yang jadi juara dan tim mana saja yang terlempar dari divisi utama tetap menjadi perbincangan.
Di papan klasemen saat ini, Liverpool berpeluang untuk ditetapkan sebagai juara musim ini. Selisih dengan pesaing terdekat mereka, Manchester City, mencapai 25 poin.
Tapi ternyata tak bisa semudah itu. Sebelumnya, Asosiasi Sepak Bola Belgia memutuskan untuk mengakhiri kompetisi Jupiler Pro League lebih dini. Mereka menyatakan Club Brugge, yang berada di puncak klasemen, sebagai juara musim ini. Mereka berselisih 15 angka dari KAA Gent di posisi kedua.
Otoritas sepak bola Belgia menganggap terlalu berbahaya jika melanjutkan kompetisi di tengah wabah Covid-19. Asosiasi, otoritas liga, dan klub Jupiler Pro League sepakat memberikan gelar juara untuk Brugge.
Namun keputusan tersebut mendapat reaksi buruk dari federasi asosiasi sepak bola Eropa atau UEFA. UEFA menyebutkan mereka sudah memberikan arahan untuk masing-masing negara menuntaskan kompetisi domestiknya sebelum Juli mendatang.
Celakanya, UEFA mengancam akan mencoret empat tim teratas Belgia untuk berkompetisi di Liga Champions dan Liga Europa. Sesuai dengan aturan, juara Jupiler Pro League otomatis lolos ke babak penyisihan grup Liga Champions.
Adapun tim runner-up harus melewati babak play off Liga Champions. Sementara tim urutan ketiga dan keempat akan mengikuti babak play off Liga Europa.
Jika risikonya sedemikian besar, tentu jadi pertanyaan besar bagi penyelenggara Liga Primer Inggris dan klub-klubnya. Tentu pengalaman Belgia ini menjadi pertimbangan terhadap langkah yang akan mereka lakukan.
GOAL | BBC | INDRA WIJAYA