TEMPO.CO, Pekanbaru -- Para pedagang Pasar Sukaramai, Pekanbaru, Riau, berteriak-teriak menarik minat calon pembeli. Meskipun menggunakan bahasa Melayu Riau, logat para pedagang tradisional itu bermacam-macam. Mulai bahasa Melayu, Minangkabau, Batak, Jawa, Bugis, Sunda, hingga Betawi. Harmonis.
"Inilah cermin keterbukaan sekaligus kekuatan Riau, tempat bersemainya aneka kultur dan etnis," kata Wakil Wali Kota Pekanbaru, Ayat Cahyadi, kepada Tempo, Selasa, 19 September 2012. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kata dia, jumlah penduduk Provinsi Riau sebanyak 5,5 juta jiwa. Ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru, memiliki jumlah penduduk terbanyak, hampir 1 juta jiwa.
Suku Melayu menempati urutan pertama, yakni 37,74 persen, disusul Jawa 25,05 persen, Minangkabau 11,26 persen, Batak 7,31 persen, Banjar 3,78 persen, dan Bugis 2,27 persen. “Sejak terjadi gempa di Sumatera Barat pada 2009, jumlah penduduk dari suku Minangkabau makin banyak di Pekanbaru,” ujar Ayat. “Perbedaan ini menjadi rahmat,” ujar lelaki kelahiran Bekasi, Jawa Barat, itu.
Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Tenas Effendy, mengibaratkan Riau sebagai Indonesia mini. "Suku bangsa dari berbagai penjuru Nusantara dan mancanegara datang ke Melayu Riau sejak ratusan tahun lalu. Berinteraksi hingga terjadi akulturasi budaya di sini," katanya.
Tenas mencontohkan, kedatangan orang Jawa terjadi ketika datangnya prajurit Singasari untuk meluaskan wilayah kekuasaan pada 1275. Kemudian, ketika Malaka diserang Portugis pada 1511, Kerajaan Demak yang dipimpin Adipati Unus ikut membantu Malaka.
Setelah Sultan Mahmudsyah terusir dari Malaka dan meninggal di Pelelawan, sebagian pengikut Adipati Unus ada yang pulang ke Demak, tapi ada juga yang menetap di sekitar Riau. Orang Jawa bertambah banyak tatkala Riau dikuasai Hindia Belanda dan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. “Banyak romusha dari Jawa dijadikan pekerja paksa di Riau,” ujar Tenas.
Begitu juga suku Minangkabau. Ketika Raja Kecil dari Siak ingin merebut takhta dari Johor untuk mendirikan kembali Kerajaan Siak pada abad ke-18, awalnya diasuh di Pagaruyung, lalu diberikan kepada Datuk Pesisir, Datuk Limapuluh, dan Datuk Tanadatar. “Jadi, berdirinya Kerajaan Siak berkat kerja sama dengan Minangkabau,” kata Tenas.
Ketika terjadi persumpahan bahwa Daeng Marewa dari Bugis dianggap sebagai saudara angkat Sultan Sulaiman Badur Alamsyah dan diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, pada abad ke-18, sejak itu Bugis menyatu dengan Melayu dan gelar Bugis dihilangkan. Maka kemenakan Daeng Marewa, yakni Raja Haji, tidak lagi memakai gelar daeng, tapi gelar raja.
Selain beberapa yang tersebut di atas, pendatang dari berbagai suku atau dari daerah lain ikut memperkaya akulturasi budaya di Riau, seperti dari Batak, Aceh, dan bahkan dari kawasan Indonesia timur.
Belakangan Riau didatangi suku lain, seperti saat terjadi Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, berdirinya sejumlah perguruan tinggi, serta gempa-tsunami Aceh pada 2004 dan gempa Sumatera Barat pada 2009. “Siapa pun yang datang ke sini diterima dengan dada lapang,” Tenas menambahkan.
Buah dari keterbukaan yang diiringi keharmonisan itu, kata Tenas, hingga saat ini sedikitnya ada 32 paguyuban daerah dari Sabang sampai Merauke. Manfaatnya, kalau ada gesekan antarsuku segera diselesaikan secara adat sehingga kehidupan di Bumi Lancang Kuning tetap harmonis.
ALI ANWAR
Baca juga:
Liputan Khusus PON Riau 2012
Ahsan/Tontowi Melaju ke Final PON
Riau dan DKI Rebut Emas Tenis Nomor Ganda
Kalla: Jadi Gubernur Jakarta Tak Susah-Susah Amat
Beri Masukan Jokowi, ProJakarta Undang Jusuf Kalla
Jokowi: Ada Kejutan di Pilkada Putaran Kedua