"Ibu saya bekerja di mini market dengan gaji 350 euro per bulan, sekitar 280 pound sterling. Ayah saya bekerja sebagai tukang cat. Kami mengalami masa yang sangat sulit. Ibu saja sering berkata;'kita tak punya cukup uang untuk membayar listrik dan segalanya' dan terkadang sepekan penuh kami tak memiliki uang."
"Saya ingat ketika ayah saya menjual perangkat ski es saya. Suatu hari saya bertanya kepada ibu saya soal dimana perangkat ski es saya karena saya sangat suka bermain ski es di musim dingin. Dan ibu saya mengatakan bahwa ayah menjualnya karena kami tak punya uang. Ayah saya menjualnya sehargan 350 Kuna atau sekitar 40 pound sterling."
Baca: Pemain Ini Pengaruhi Jesus Pilih Man City Ketimbang Barca
Kenangan pahit seperti itu masih sangat terasa bagi keluarga Lovren. Dia mengatakan bahwa ibunya sempat tak setuju ketika dia meminta izin untuk menceritakan kisahnya dalam buku itu. Sang ibu bahkan sempat menangis agar Lovren tak membicarakan masa kelam keluarga mereka.
"Perang terasa baru belangsung kemarin. Ini adalah hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Ibu melarang saya untuk menceritakan soal ini, tetapi saya mengatakan bahwa saya akan menceritakannya dan dia menangis."
Lovren pun berharap keadaan akan lebih baik bagi para pengungsi saat ini. Dia berharap banyak negara mau memberikan kesempatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut dia, menjadi pengungsi bukanlah kesalahan mereka. Tak ada satu orang pun yang ingin terusir dari rumahnya karena perang.
"Mereka hanya ingin tempat yang aman bagi anak dan keluarganya di masa depan. Saya bisa melalui semua itu dan saya tahu bahwa banyak keluarga lain juga melewati itu semua. Berikan mereka kesempatan, berikan mereka kesempatan. Anda akan lihat siapa orang yang baik dan siapa yang bukan," ujarnya.
THEGUARDIAN|FEBRIYAN