TEMPO.CO, Jakarta - Kekalahan 0-3 Manchester City di kandang Liverpool, Stadion Anfield, Kamis dinihari, 5 April 2018, pada pertandingan pertama babak perempat final Liga Champions memang belum menjadi kiamat bagi City.
Masih ada perempat final kedua di Stadion Etihad, Manchester, pekan depan. “Masih ada 90 menit lagi, kami akan berusaha,” kata Manajer Manchester City, Pep Guardiola, setelah pertandingan.
Baca: Perempat Final Kedua Liga Champions: 4 Hal yang Menarik untuk Ditunggu
Tapi, setelah diberondong tiga gol oleh pemain Liverpool pada babak pertama itu, Guardiola sebaiknya tidak berkukuh lagi untuk memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pemainnya jika bermain melawan Liverpool, terutama pada pertemuan kedua nanti.
Itu lantaran lawannya berjuluk the Reds asuhan manajer asal Jerman, Jurgen Klopp, sedang mendapatkan bentuk permainan terbaiknya. Apalagi, faktor sejarah Liverpool yang punya reputasi lebih hebat di Liga Champions daripada City, ikut memberi inspirasi buat para pemain Reds asuhan Klopp.
Baca: Liga Champions: 5 Kelemahan Ini Bikin Man City Dibantai Liverpool
Guardiola tampaknya perlu meralat pernyataannya bahwa ia tidak akan mengkhianati prinsip dalam bermain sepak bola. Sebuah prinsip dari warisan gurunya di Barcelona, Johan Cruyff, yaitu bermain terbuka dan senantiasa menyerang.
Guardiola perlu melihat fakta terakhir. Bukankah, ia sudah tak bisa membawa timnya lagi memenangi Liga Champions setelah meninggalkan Barcelona 2012?
Ketika terakhir memenangi kejuaraan utama antarklub Eropa itu pada 2011 bersama Barcelona, selain punya segudang pemain papan atas Spanyol, ada Lionel Messi di samping Guardiola.
Ketika menangani Bayern Munich, Guardiola sudah tidak lagi bisa mendominasi di Liga Champions dan harus puas dengan trofi juara Bundesliga.
Baca: Liga Champions: Sambangi Markas Man City, Liverpool Ubah Tradisi
Sekarang di City, Guardiola menang sudah menghabiskan 450 juta pound sterling atau sekitar Rp 8,7 triliun untuk membeli sejumlah pemain hebat sejak 2016. Tapi, tetap belum ada pemain yang sekelas Messi.
Tim terakhir yang dibangun Guardiola ini juga belum matang di Liga Champions. Musim lalu mereka diganjal AS Monaco di 16 besar. Prestasi terbaik mereka adalah semifinalis dan itu bukan pada masa Guardiola melainkan era Manuel Pellegrini 2016.
Pep Guardiola memang bukan Jose Mourinho. Tapi, Guardiola butuh pendekatan strategi bermain seperti manajer Manchester United itu. Guardiola mesti mengusahakan bagaimana City bisa menang, apalagi harus mengejar defisif tiga gol, dengan permainan yang sefektif mungkin dan tidak kebobolan.
Baca: Top Skor Liga Champions: Ronaldo Susah Dikejar
Guardiola mesti berkompromi dengan prinsipnya kalau ingin meraih harapannya, yaitu masih ada peluang lolos ke semifinal Liga Champions. Untuk itu, mungkin permainan City tidak akan menarik lagi –untuk sementara- demi melumpuhkan agresivitas Liverpool.