TEMPO.CO, Jakarta - Tinggal Liverpool atau Manchester City yang bisa menjadi juara Liga Primer Inggris musim 2018-2019. Prediksi ini berdasarkan situasi menjelang enam sampai tujuh pertandingan terakhir di antara 20 tim peserta.
Adapun dinihari nanti, Kamis 4 April 2019, juara bertahan Manchester City akan menggeser kembali posisi Livepool di puncak klasemen, jika City berhasil mengalahkan Cardiff di Stadion Etihad, Manchester. Jika hal itu terjadi, Manchester City akan unggul hanya satu poin (80-79) dari Liverpool pada 6 laga terakhir.
Tapi, lepas dari Manchester City menang atau kalah pada Kamis dinihari, 4 April 2019, bisa disimak bagaimana ketatnya persaingan 2 “kuda pacuan juara” di divisi tertinggi Liga Inggris ini, melebihi Lionel Messi dengan Barcelonanya di La Liga Spanyol dan Cristiano Ronaldo dengan Juventus di Seri A Liga Italia. Demikian juga di Bundesliga Jerman.
Dari zaman masih gaya kick and rush tempo dulu sampai sekarang, yang sudah menyerap berbagai varian taktik sepak bola mutakhir –dari berbagai pelatih mancanegara yang membanjiri Inggris-, ada satu hal yang tak berubah di Liga Inggris.
Satu hal itu adalah gairah dari para pemainnya yang meluap-luap di lapangan, menggelegak, dan begitu dinamisnya suasana di lapangan. Kualitas, skill, dan teknik secara peorangan maupun tim boleh kalah dari negara Eropa lain dan Amerika Selatan, tapi passion mereka di lapangan jangan diragukan. Tampil ngotot dan keras, persis seperti adagium sepak bola klasik mereka: kick and rush.
Sejarah sepak bola di Inggris adalah permainan yang dilakukan kelas sosial terbawah, kaum buruh, pengangguran, dan kaum jelata lainnya. Mereka memuntahkan segala tekanan hidup dan mencari penghiburan, antara lain di lapangan sepak bola.
Mereka, para kaum buruh dan jelata lainnya, bisa bersikap urakan, sebagai pemain maupun penonton, di lapangan sepak bola. Dan, hal itu sulit dilakukan di cabang olahraga lain yang berkembang di lapisan atas seperti tenis.
Bicara kaum buruh itu, awal Mei ini adalah peringatan hari buruh internasional, May Day. Dan, pada bulan itu, tepatnya 12 Mei 2019, Liverpool dan Manchester City akan memastikan nasibnya pada partai terakhir Liga Primer 2018-19.
Liverpool akan menjamu Volverhampton Wanderers –yang Rabu dinihari, 3 April 2019, menghantan Manchester United- dan Manchester City akan tampil di kandang Brighton & Hove Albion.
Sebelas hari setelah peringatan May Day edisi 2019 itu, akan terlihat, yaitu apakah Liverpool akan meraih juara Liga Primer Inggris untuk pertama kali dalam 29 tahun terakhir? Atau, gagal lagi ketika sudah berada di pendakian terakhir menuju puncak pada tiga musim terakhir?
Demikian juga dengan Manchester City. Akankah maestro Barcelona, Pep Guardiola, membawa City memenangi Liga Primer dua kali beruntun atau “hanya” meraih tiga gelar lainnya?
Dalam sejarahnya, Liverpool dan Manchester adalah kota yang dicintai Partai Buruh Inggris dan menjadi salah satu basis massa terbesar partai itu. Sekitar empat-lima tahun lalu, ada usulan dari anggota Partai Buruh Inggris agar suporter bisa punya saham di tim yang dipujanya.
Warisan kaum buruh masih ada di Liverpool dan Manchester City. Meski, kepemilikan tim Liverpool dan Manchester City kini dimiliki tokoh dan kelompok kapitalis ternama mancanegara, yaitu konglomerat olahraga Amerika Serikat, Tom Werner di bawah bendera perusahaan Fenway Sports Group, dan juragan dari Uni Arab Emirat, Khaldoon Al Mubarak, dengan perusahaan City Footbal Group
Selain masih menyisakan kelompok suporter garis keras di Liverpool dan City –terutama di The Reds-, yang ingin membendung gerakan penetrasi kapitalisme besar-besaran di sepak bola mereka, gaya permainan sepak bola modern yang diintrodusir manajer Jurgen Klopp dari Jerman dan tokoh Catalonia-Spanyol, Pep Guardiola, bisa disebut penjelmaan dari pengembangan sepak bola ala buruh modern.
Main dalam tempo tinggi, keras, terus menekan, dan dibekali skill individu tinggi untuk bermain kian cepat jika sudah memasuki daerah pertahanan lawan. Itulah inti dari taktik gegenpressing yang dibawa Jurgen Klopp ke Anfield, maupun varian dari tiki-taka yang diterapkan Pep Guardiol di Etihad.
Ketika masih menangani Borussia Dortmund di Bundesliga Jerman, Jurgen Klopp sudah merawat gaya sepak bola mental pekerja. Dan, mengingat gegenpressing di Liverpool adalah mengenang heavy metal football ala Klopp di Dortmund.
Gaya cepat dan serbamenekan didukung kekuatan fisik yang prima itu diterapkan Guardiola di Manchester City dengan menyerap ilmu utama dari “kampusnya” Barcelona, yaitu penguasaan bola dan alurnya dalam konsep tiki-taka yang dimodifikasi. Menyadari awalnya strata kualitas pemain City masih di bawah Barca, Pep meminta pemainnya semakin meningkatkan kecepatannya jika membawa bola memasuki daerah lawan. Sebab, mereka tidak bisa seenaknya berlama-lama bola karena belum ada penjelmaan Lionel Messi, Andres Iniesta, atau Xavi di Etihad.
Pada dasarnya, sepak bola sekarang kian cepat, penuh tekanan, dan ruang yang tersedia makin sempit karena persaingan perebutan space kian dianggap penting.
Menyongsong akhir musim, Mei nanti, Liverpool dan Manchester City akan bermain kejar-kejaran seperti itu dengan tingkat presisi yang tinggi. Terpeleset sedikit saja, pada awal Mei, yang menjadi hari buruh internasional itu, akan terdengar suara-suara peringatan, “Mayday-maday!” buat Liverpool atau Manchester City. Kondisi kapal tim dalam keadaan darurat.
Daftar 6-7 Laga Terakhir Liverpool dan Manchester City:
Liverpool:
1 Jumat, 5 April: Southampton Vs Liverpool
2 Minggu, 14 April: Liverpool Vs Chelsea
3 Minggu, 21 April: Cardiff Vs Liverpool
4 Jumat, 26 April: Liverpool Vs Huddersfield
5 Sabtu, 4 Mei: Newcastle United Vs Liverpool
6 Minggu, 12 Mei: Liverpool Vs Wolverhampton Wanderers
Manchester City:
1 Rabu, 3 April: Manchester City Vs Cardiff
2 Minggu, 14 April: Cyrstal Palace Vs Manchester City
3 Sabtu, 20 April: Manchester City Vs Tottenham
4 Rabu, 24 April: Manchester United Vs Manchester City
5 Minggu, 28 April: Burnley Vs Manchester City
6 Sabtu, 4 Mei: Manchester City Vs Leicester
7 Minggu, 12 Mei: Brighton Vs Manchester City
---