TEMPO.CO, Jakarta -Sekelompok orang terlihat dalam tayangan beberapa stasiun media televisi -dan diberitakan media lainnya- telah menyerang bus tim Persija Jakarta sehabis pulang latihan di Stadion Andi Mattalatta, Mattoangin, Makassar, Sabtu sore, 27 Juli 2019 atau sehari sebelum berlangsungnya final kedua Piala Indonesia.
Dari tayangan televisi, tampak salah satu kaca dari bis tim Persija itu pecah. Ada beberapa korban di tim Persija dari aksi pelemparan itu. Selain itu, juga terlihat dalam tayangan televisi, bagaimana riuhnya orang mengitari halaman depat tempat rombongan Persija menginap di Makassar.
Mereka sebut saja sekelompok oknum suporter PSM Makssar. Merekalah yang kemudian bisa disimpulkan memicu pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) membatalkan jadwal pertemuan kedua babak final Piala Indonesia 2018-19 di Stadion Andi Mattalatta keesokan harinya, Minggu 28 Juli 2019.
Hal ini terjadi setelah PSSI menerima laporan dari pengurus Persija bahwa sejumlah pemainnya merasa trauma dengan kejadian itu.
Rasa trauma itu manusiawi, bisa dipahami, dan tindakan yang bisa disebut mengarah ke aksi teror semacam itu tak bisa dibenarkan dalam sepak bola. Meski bukan hal baru dan tak cuma terjadi di Indonesia.
Dua musim lalu, misalnya, untuk menyebut salah satu contoh populer, sekelompok suporter tim Liverpool menyerang bus rombongan tim Manchester City saat hendak memasuki Stadion Anfield, Liverpool, pada pertemuan pertama babak perempat final Liga Champions Eropa, Kamis 7 April 2018.
Ini mungkin juga disebut oknum pendukung Liverpool yang menyalakan kembang api atau flare dan melemparkan botol-botol serta kaleng ke arah bus Manchester City. Tindakan mereka juga tak bisa dibenarkan dalam semangat fair play dalam sepak bola.
Beruntung, Manajer Manchester City, Pep Guardiola, dan rombongannya dalam bus itu tak mengalami cedera. Hanya saja dua polisi terluka. Pertandingan tetap berjalan sesuai jadwal.
Kembali ke Mattoangin pada Minggu 28 Juli 2019, sebenarnya sudah ada penonton yang memenuhi Stadion Andi Mattalatta untuk menyaksikan pertandingan kedua final Piala Indonesia itu.
Mereka menunggu dengan tertib. Sebagian di antaranya bahkan, menurut seorang sahabat di Makassar, konon rela membeli tiket empat kali lipat di atas harga normal dari para calo. Kabar ini masih perlu dicek lagi kebenarannya. Pasalnya, panitia pelaksana pertandingan PSM memberlakukan sistem pemesan dan penjualan tiket pertandingan final kedua Piala Indonesia 2018-29 secara online.
Rombongan tim PSM sudah tiba. Beberapa jam sebelum pertandingan, pengurus PSM mengumumkan pembatalan pertandingan itu dari tengah lapangan. Pengurus PSSI yang membuat keputusan penundaan pertandingan itu tidak tampak.
Sebelum terjadinya penundaan itu, pihak PSM diberitakan sudah berusaha meyakinkan Persija dengan dukungan aparat keamanan setempat bahwa saat pertandingan situasi dijamin jauh lebih kondusif karena tindakan pencegahan potensi anarkis juga akan ditingkatkan.
Deputi Sekjen PSSI Bidang Pengembangan Bisnis, Marshal Masita, di sebuah media nasional, mengatakan aksi pelemparan yang dilakukan suporter itu membuat para pemain Persija Jakarta trauma.
Padahal, Marshal mengatakan Kapolrestabes Makassar, Kombes Wahyu Dwi Ariwibowo dan Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar M. Iqbal Suhaeb, sudah datang langsung ke hotel tempat Persija menginap untuk memberikan jaminan keamanan saat pertandingan final.
Sampai malam hari sebelum pertandingan, Ketua Eksekutif (CEO) Persija, Ferry Paulus, diberitakan sudah membuat persetujuan dengan Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto, bahwa laga tetap akan bergulir. Tapi, keadaan berubah saat ia menemui para pemainnya keesokan harinya.
Setelah itu pada pertemuan Persija dengan PSM selaku tuan rumah, dikabarkan bila Persija dengan berat hati menolak main karena kejadian sehari sebelumnya dan trauma yang mereka rasakan.
Para pemain dan ofisial PSM Makassar belum mengetahui keputusan tersebut dan sudah sampai di stadion pada pukul 14.30 WITA. Ketua Eksekutif (CEO) PSM Makssar, Munafri Arifuddin, bergegas menuju stadion untuk memberi kabar.
Kondisi Stadion Andi Mattalatta setelah direnovasi memang belum sampai memenuhi standar dari Konfederasi Sepak Asia (AFC). Itu sebabnya ketika PSM tampil pada fase Piala AFC Zona Asia Tenggara, mereka bermain di Stadion Pakansari, Bogor.
PSSI tentu sudah mengetahui hal itu, karena saat PSM tampil di Piala AFC, waktunya jauh sebelum digelarnya final Piala Indonesia 2018-19 dengan sistem kandang dan tandang ini.
Jadi, mestinya lubang-lubang ancaman dari keinginan besar untuk menyerap animo pendukung PSM di Mattoangin menyambut final kedua Piala Indonesia ini sudah diantipasi jauh-jauh hari oleh PSSI selalu penyelenggara Piala Indonesia.
PSSI sudah lama tahu Stadion Andi Mattalatta, Mattoangin, Makassar, masih belum ideal seperti Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, yang menjadi tempat final pertama Piala Indonesia 2018-19, ketika Persija mengalahkan PSM 1-0.
Hal ini diutarakan karena ada penilaian bahwa suporter PSM yang kecewa tak mendapat tiket secara online yang habis terjual itulah yang menjadi pemicu kerusuhan. Mereka disebutkan melampiaskan kekecewaan tersebut kepada bus tim Persija yang melintas.
Bukankah jika hal itu disebut sebagai keteledoran pihak panpel PSM Makassar, mestinya PSSI sebagai induk organisasi sepak bola nasional juga ikut bertanggung jawab?
Tindakan suporter yang anarkis seperti itu, tidak peduli dari pendukung PSM atau fans Liverpool, di sepak bola belahan manapun tidak bisa ditolerir.
PSM Makassar sebagaimana Liverpool FC pada 2018 itu juga mesti ikut bertanggung jawab sebagai panitia pelaksana pertandingan ketika menjadi tuan rumah atas insiden tersebut.
Tapi, sebagaimana pernyataan CEO PSM, Munafri Arifuddin, di sebuah stasiun televisi nasional, setelah terjadinya penundaan pertandingan pertemuan kedua final Piala Indonesia 2018-19, bahwa musibah ini mesti dilihat lagi dengan cermat.
Dan, yang mesti lebih cermat adalah PSSI untuk menindaklanjuti kejadian ini. Persija di situs Persija.id menyatakan menghormati keputusan penundaan final kedua Piala Indonesia ini.
“Kami sangat menghormati keputusan PSSI menunda pertandingan final leg kedua karena kondisi keamanan,” kata CEO Persija, Ferry Paulus.
“Ini adalah partai final Piala Indonesia, di mana juara nya akan mendapatkan slot AFC cup tahun 2020, sehingga perlu dikemas sebaik mungkin demi menciptakan hiburan yang menarik dan enak di tonton,” ia menambahkan.
Ia juga menyatakan Persija siap bermain di manapun dan kapan pun saat PSSI memutuskan waktu dan tempat pelaksanaan laga tunda nanti. “Persija sejatinya siap main dimanapun dan kapanpun.”
Tapi, PSSI juga perlu memahami aspirasi PSM Makassar dengan sama baiknya, seperti ketika mereka menuruti keinginan Persija dalam soal penundaan pertandingan final kedua Piala Indonesia ini.