TEMPO.CO, Jakarta - Di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina, malam nanti, Selasa 10 Desember 2019, Timnas U-23 asuhan pelatih Indra Sjafri akan menghadapi tim favorit, Vietnam, pada pertandingan babak final cabang sepak bola dalam pesta olahraga multicabang Asia Tenggara, yaitu SEA Games.
Pada 1991, ketika untuk kedua kali sekaligus terakhir kalinya tim sepak bola Indonesia bisa merebut medali emas SEA Games, tim asuhan mendiang pelatih Anatoli Fyodorich Polosin asal Uni Sovyet, sekarang Rusia, juga melawan tim yang lebih diunggulkan, yakni Thailand.
Pada 28 tahun lalu, Polosin tak kuasa menahan ketegangan, sehingga ia hanya berada di ruang kamar ganti pemain ketika tim Indonesia asuhannya menjalani adu penalti melawan Thailand setelah pertandingan normal berakhir 0-0.
Polosin membiarkan dua asistennya, Vladimir Urin dan Danurwindo, mendampingi Ferryl Raymond Hattu dan kawan-kawan dalam adu penalti yang memang menegangkan itu. Indonesia menang 4-3.
Bek tengah Sudirman menjadi algojo Indonesia yang sukses membobol gawang Thailand sehingga Indonesia memimpin 4-3 dalam adu penalti. Dan, kiper Eddy Harto menjadi penentu kemenangan Indonesia setelah menahan tembakan penalti yang dilakukan pemain Thailand.
Hal yang sangat menonjol dari gaya permainan yang dikembangkan Polosin di tim Indonesia pada SEA Games 1991 adalah kekuatan fisik.
Memang benar. Fisik ini adalah dasar. Sebagus apapun kualitas teknik indvidu para pemain dan kecanggihan strategi serta kekompakkan, tapi jika fisiknya mengendur maka stamina bakal melorot sehingga kontrol bermain pun buyar.
Metode kepelatihan Anatoli Polosin ini mengingatkan pada pendekatan salah satu pelatih bulu tangkis legendaris yang pernah dimiliki Indonesia, Tahir Djide, puluhan tahun lalu.
Adalah Tahir Djide yang menyuruh Liem Swie King berlari mengitari lingkaran luar Stadion Utama Gelora Bung Karno belasan kali untuk menguatkan stamina. Metode Tahir Djide yang sangat berfokus kepada fisik ini kemudian sempat dikritik. Saat pergantian pelatih kepada Tan Joe Hok, para pemain bulu tangkis lebih banyak diasah kemampuan tekniknya.
Begitu juga dengan pendekatan Polosin yang menekankan penguatan fisik, termasuk dengan berlatih lari cepat di kawasan berpasir di bibir pantai di kawasan Cilegon dan latihan mendaki gunung.
Pemain dibikin muntah-muntah menjalani latihan. Jaya Hartono, Ansyari Lubir, dan Fachri Husaini termasuk di antara pemain nasional saat itu yang kemudian memilih mundur dari skuad Polosin.
Persiapan total sekitat dua tahun. Tapi, gemblengan fisik yang luar biasa itu terjadi pada tiga bulan terakhir. Latihan fisik ala Eropa Timur dari Polosin tersebut sempat dipermasalahkan oleh pengurus Satgas Pelatnas SEA Games 1991.
Tapi, PSSI saat itu tetap mendukung Polosin. Selain itu, mendiang pelatih kelahiran Moskwa ini juga mengharuskan pemain menyentuh bola 150 kali dalam latihan pertandingan selama 90 menit. Patokan Polosin soal touch ball ini adalah pada apa yang dilakukan salah satu pemain legendaris Belanda, Marco van Basten.
Polosin juga membagi latihan dalam sebanyak tiga kali per hari, yaitu pagi, siang, dan sore. Dengan fisik yang kuat, Polosin menargetkan tim Indonesia kuat bermain secara maksimal tak hanya satu babak saja, melainkan bisa mempertahankan tempo tinggi sepanjang 90 menit.
Hasil polesin Polosin itu pada awalnya tak kelihatan ketika timnya diterjukan di Piala Presiden Korea Selatan di Seoul. Mereka hanya bisa mencetak satu gol dan kebobolan 17 gol melawan Cina U-23, Mesir, Korea Selatan, Malta, dan klub dari Austria.
Tapi, pada perang yang sesungguhnya, SEA Games 1991 di Manila, pasukan Polosin itu mengalahkan Malaysia, Vietnam, Filipina, Singapura di semifinal melalui adu penalti 4-2, dan puncaknya Thailand lagi-lagi lewat adu penalti 4-3.
Aji Santoso, Bambang Nurdiansyah, Eddy Harto, Erick Ibrahim, Ferryl Raymond Hattu, Hanafing, Heriansyah, Herry Setiawan, Kashartadi, Maman Suryaman, Peri Sandria, Rochy Putiray, Robby Darwis, Salahuddin, Sudirman, Toyo Haryono, Widodo Cahyono Putro, dan Yusuf Ekodono.
Merekalah 18 pemain yang dipilih Anatoli Polosin yang kini sudah almarhum untuk mencetak sejarah di Stadion Rizal Memorial, Manila, dengan mengalahkan Thailand pada babak final melalui adu penalti.
Menjadi sejarah dan legenda karena baru malam ini Selasa, 10 Desember 2019, di tempat dan stadion yang sama, prestasi itu akan diperjuangkan lagi oleh Timnas U-23 asuhan pelatih Indra Sjafri untuk bisa tercapai lagi.